0

HISTORIOGRAFI PESANTREN

Posted by Unknown on 7:34 AM in
HISTORIOGRAFI PESANTREN: PERSPEKTIF METODOLOGIS
Antara Ada dan Tiada

Pendahuluan
Historiografi berarti penulisan sejarah atau sejarah penulisan sejarah. Jadi  historiografi pesantren  dapat  dipahami  sebagai  sebagai  penulisan sejarah pesantren. Dalam konteks ini jika sejarah diartikan sebagai kisah masa lalu, maka historiografi pesantren dapat dipahami sebagai penulisan kisah masa lalu pesantren. Tulisan yang berisi masa lalu pesantren begitu berserak  dalam  berbagai  bentuk.  Terlepas  memenuhi  kriteria  sebagai historiografi atau tidak, kisah tentang keberadaan pesantren sejak awal berdirinya sudah dapat diketahui.Pesantren dipandang sebagai kelanjutan dari bentuk mandala pada masa Hindu (Moestopo, 2001: 150; Sutjiatining &  Kutoyo: 1986:51). Mandala adalah sebuah asrama bagi para pertapa atau pelajar dari agama siwa yang terletak di tengah-tengah hutan yang dipinpin oleh seorang dewa guru. Tetapi ada  yang  berpendapat  bahwa  kawikuan prototype  pondok pesantren yang sekarang (Sutjiatiningsih & Kutoyo, 1986: 67). Ampeldenta di Surabaya dianggap sebagai bentuk pesantren yang telah ada sejak kwartal tiga abad 15 (Sofwan, Wasit, Mundiri, 2000).  Pesantren juga ada yang mengidentikkan dengan tanah perdikan (Fokkens, 1908)

Dewasa ini dikenal istilah pondok pesantren. Dari segi istilah pondok pesantren berasal dari kata funduq yang berarti asrama, dan shastri yang berarti orang yang tahu buku-buku suci agama hindu. Dengan demikian pondok pesantren berarti asrama orang-orang yang tahu buku-buku suci (Sayono, 2001).    Dalam arti seperti ini pondok pesantren tidak berbeda dengan pesantren. Dalam khasanah historiografi tradisional. situasi dan kondisi pesantren telah mendapat tempat dalam berbagai karya walaupun belum menjadi unit kajian  tersendiri  Demikian  pula  dengan  historiografi  Kolonial,  pesantren masih  digambarkan  secara sepotong-sepotong.  Satu  hal  yang  menarik tentang  pesantren  pada  historiografi  kolonial  adalah  adanya  pandangan bahwa pesantren sebagai tempat berkembangnya gerakan antikolonial dan sekaligus sebagai bentuk pendidikan alternatif bagi rakyat.    Berkembangnya historiografi modern Indonesia melahirkan banyak tulisan tentang pesantren, bahkan telah memfokuskan pada komponen tertentu saja dari pesantren, artinya  penulisan  tentang  pesantren  telah  berkembang  dengan  pesat. Sebuah  persoalan  yang  mendasar  bagi  para  sejarawan  adalah  apakah penulisan tentang pesantren yang begitu beragamnya dapat dikategorikan sebagai historiografi pesantren ? Jawaban persoalan ini dapat menjadi bahan diskusi atau bahkan perdebatan, karena penulisan suatu kisah masa lalu yang lepas dari metodologi sejarah dapatkah disebut sejarah. Dalam konteks historiografi pesantren, dapatkah tulisan yang tidak menggunakan metodologi sejarah dapat dikategorikan historigrafi pesantren. Makalah ini adalah upaya menelusuri historiografi pesantren dan metodologinya, serta kemungkinan pengembangan metodologi bagi   historiografi pesantren di masa yang akan datang. Pesantren Dalam Khasanah Historiografi Tradisional Kisah  tentang  pesantren  dalam  bingkai  historiografi  tradisional memberikan  gambaran  bahwa  pesantren  adalah  institusi  pendidikan keagamaan.  Pesantren  dideskripsikan  sebagai  tempat  pendidikan  yang menjadi  rujukan  mengembangkan  nilai-nilai  kesalehan  berdasar  Islam.Lulusan pesantren diharapkan menjadi orang yang memilikiki kesalehan iman dan kesalehan sosial yang pada saatnya setelah kembali ke masyarakat diharapkan dapat menjadi contoh dan sekaligus kader dakwah.
Dalam Serat Centhini Jilid I (Pakubuwana V, 1991: 5) gambaran tentang pesantren tidaklah banyak. Disebutkan kondisi Giri (Ampel dan Giri diangap sebagai pemula model pesantren) sebagai wilayah yang ditempati oleh orang-orang Islam dipimpin oleh Sunan Giri Ada beberapa petunjuk yang disebutkan antara lain masyarakat sudah beriman, menjalankan syariat nabi, membaca Al Qur’an, dan juga mendirikan masjid. Dalam Babad Tanah Jawa (Santosa, 1970:99) hanya disebutkan adanya pesantren di Ampeldenta dengan pimpinan Sunan Ampel yang sudah memiliki banyak santri. Informasi yang  lain  adalah  dari  kitab  Cebolek,  yakni  tentang  adanya  beberapa pesantren di pesisir utara Jawa Timur (Moestopo, 2001: 154-163), antara lain Surawuti di Lamongan dan Sidaresmo di Surabaya. Moestopo menjelaskan bahwa kehidupan dipesantren mirip dengan kehidupan di mandala pada masa Hindu/Budha. Gambaran tentang pesantren yang lebih lengkap dapat dijumpai pada Babad Cariyos Lelampahanipun Suwargi R. Ng. Ronggowarsito (Komite Ronggowarsito, 1979: 64-65), pesantren milik Kyai Imam Besari di Ponorogo digambarkan sebagai lingkungan pendidikan bagi santri dari berbagai daerah yang ingin menimba ilmu agama Islam. Kegiatan santri yang utama adalah belajar agama (ngaji), namun santri juga melakukan kegiatan lain bersama dengan  masyarakat  sekitar.  Santri  juga  harus  menyiapkan  berbagai kebutuhan  sehari-hari  dengan  mandiri (bandingkan  dengan  Purwadi  & Mahmudi, 2004).
Historiografi tradisional telah membuka informasi tentang pesantren walaupun masih sangat terbatas. Dalam perkembangannya pesantren telah menjadi bagian penting   dalam penyebaran Islam di Jawa dan bahkan juga Indonesia. Pesantren dianggap sebagai sarana penting yang dipergunakan untuk Islamisasi (lihat SNI Jilid III). Dalam proses tersebut terdapat gambaran bahwa pesantren adalah penyeimbang kekuasaan politis dari penguasa.
Pesantren dalam Khasanah Historiografi Kolonial Untuk  mengetahui  kondisi  pendidikan  rakyat,  pemerintah  Kolonial mengadakan  survey  tentang  keberadaan  pendidikan  tradisional.  Dari kegiatan tersebut diketahui bahwa pesantren memang sudah ada tetap


bentuknya masih sederhana dan belum sebagaimana pesantren sekarang. Jumlah pesantren sudah cukup banyak hingga mencapai kurang lebih 300 buah (Berg, 1882). Tulisan yang menyangkut pesantren antara lain L.W.C. , “De Mohammedaansche Geestelijkheid en de Geestelijk Goederen or Java en Madoera” dalam TBG Deel XXVII, 1882. Dalam tulisan ini Berg memberikan gambaran tentang pendidikan islam tradisional di Jawa dan Madura.Gambaran tentang pesantren dalam historiografi kolonial lebih beragam, beberapa penulis lain (lihat Sayono, 2001) yang membicarakan pesantren antara lain, J.F.G. Brugmun, 1857. Het Volksonderwijs onder de Javanen; F Fokkens,”De Piresterschool te Tegalsari” dalam TBG Deel XXIV, 1878. Pigeaud, de Graaf, Guillot, Van der Chjis (lihat van Bruinessen, 1999),  Snouck  Hurgronye,”Een  Belangrijk  document  betreffende  den Heilegen Oorlog van den Islam (1914) en Eene Officieele   Correctie” dalam TBG Deel 73 , 1917, dan Achmad Djajadiningrat, “ Het Leven in een Pesantren” dalam TBB XXXIV, 1908. Tentang Materi pelajaran atau kitab yang   dipelajari   di   Pesantren   dapat   dilacak   dalam   Berg, “  Het Mohammedaansche Godsdienstonderwijs op Java en Madoera en de Daarbij Gebruikte Arabsche Boekken”  dalam TBB  Deel XXXI, 1886. Gambaran tentang  Kyai  terdapat  dalam  tulisan  Drewes (1925),  Drie  Javansche Goeroe”s. Kuantitas pesantren telah digambarkan oleh Berg, proses berdirinya pesantren digambarkan oleh Guillot dan Snouck Hurgronye, dan proses


pendidikan dilakukan di pesantren digambarkan oleh Achmad Djajadiningrat.Proses  berdirinya sebuah pesantren dimulai tatkala  seseorang yang memiliki  ilmu  agama  Islam  membuka  pengajian (pelajaran  agama)  di rumahnya, seiring dengan    perjalanan waktu banyak orang yang belajar agama kemudian tinggal di tempat tersebut. Dari proses inilah kemudian berdiri sebuah pondok pesantren. Kegiatan sehari-hari di pesantren antara lain  membaca  dan melagukan  ayat-ayat  suci,  murid  secara  bergantian menghadap guru untuk diperiksa   (Hurgronye, 1991). Metode pendidikan  di  pesantren  sebagaimana dimaksud  dikenal  sebagai sistem sorogan.
Deskripsi tentang pesantren dalam historiografi kolonial tetap tidak lepas dari masa historiografi tradisional yakni sebagai melihat pesantren lembaga pendidikan agama. Pada mulanya kolonial Belanda memandang bahwa  pesantren  adalah  lembaga  pendidikan  yang  rendah  dan  tidak membawa kemajuan bagi para muridnya, namun pandangan ini berubah setelah menjelang akhir sampai awal abad 20 yang menunjukkan bahwa pesantren potensial untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju.
Dalam  historigrafi  kolonial  juga  menunjukkan  bahwa  pesantren berkembang pesat setelah perang Jawa usai, dan bahkan semakin menguat padsa akhir abad 19 dan awal abad 20 karena banyaknya orang yang menunaikan ibadah Haji. Di antara para haji ada yang kemudian membuka pesantren dan menjadi kyai


Diamati  dalam  beberapa  tulisan  mengenai  Kyai,  sebagai  unsur terpenting  keberadaan  pesantren,  tidak  hanya  dikaitkan  dengan  aspek pendidikan  tetapi  juga  aspek  politik,  yakni  sebagai  salah  satu  agen penentang koloniaslisme. Meletusnya peristiwa di Cilegon pada tahun 1888 membuat pemerintah Belanda mengambil kebijakan untuk mengawasi guru agama (Kyai).  Bukti  kebijakan  tersebut  adalah  pada  tulisan  Snouck Hurgronye yang menyebutkan bahwa Kyai Krapyak beserta jumlah muridnya telah terdata pada   beberapa laporan residen Yogyakarta. Tulisan Van der Plas (lihat  catatan  kaki 193  pada  Suminto: 1985)  menunjukkan bahwa pemerintah Kolonial memandang guru agama adalah sosok yang berbahaya. Banyaknya gejolak politik yang disebabkan oleh para guru agama atau kyai memang  tampak  dari  beberapa  laporan  residen (ANRI, 1981).  Walau demikian historiografi kolonial lebih berkesan sebagai pemetaan keberadaan pesantren untuk kepentingan kolonial.
Pesantren dalam Khasanah Historiografi Modern Indonesia Perlu  ditegaskan  bahwa  pengertian  sejarah  sebagai  kisah,  akan membawa dampak yang sangat luas pada historiografi pesantren. Salah satunya adalah sulitya apakah sebuah kisah tentang pesantren termasuk dalam kategori historigrafi pesantren atau tidak. Banyak penulis asing atau Indonesia yang menulis tentang pesantren, tapi yang menulis dari disiplin  ilmu  sejarah  sangat  terbatas.  Ada  pendapat  bahwa  historiografi modern Indonesia dimulai ketika Husein Djajadiningrat menulis sebuah kary


berjudul Tinjauan Kritis Sejarah Banten pada tahun 1913, atau tahun 1958 ketika seminar sejarah nasional I berlangsung.  Dalam makalah ini digunakan moment proklamasi kemerdekaan untuk mengawali temporal historiografi modern Indonesia, Sejak proklamasi historiografi pesantren (kisah tentang pesantren) begitu beragamnya.Makalah ini tentu saja tidak akan dapat menjangkau seluruh tulisan yang ada, hanya beberapa tulisan   yang akan dibahas untuk menunjukan perkembangan historiografi pesantren dari dulu hingga beberapa tahun belakangan ini.
Buku  pertama  yang  layak  disebut  adalah  Direktori  Pesantren  I, diterbitkan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta. Buku ini sangat memandu bagi pemula yang ingin mengenal pesantren.  Tidak  kurang 255  pesantren dituliskan secara singkat,  sejakberdirinya, Kyai pendiri, santri, sarana, hingga kurikulum yang dikembangkan sekarang.  Buku  ini  dapat  digolongkan  yang  menulis  pesantren  secara menyeluruh tetapi tidak detail. P3 M sebelumnya menerbitkan buku tulisan Hiroko Horikoshi yang berjudul  tentang  Kyai  dan  Perubahan  Sosial,  isinya  mengupas  tentang peranan Kyai dalam menggerakan perubahan masyarakat di sekitarnya. Bingkai metodologi yang dikembangkan   penelitian kualitatif dengan metode pengumpulan datanya melalui observasi dan wawancara. Kerangaka teori yang  dipakai  untuk  mendasari  kerja  penelitiannya  adalah  mediator  dan cultural broker. Teori Cultural broker    pernah dipergunakan oleh Geertz


dalam artikelnya berjudul The Javaneese Kijaji: The Changing Roles of a Cultural Broker, tetapi penelitian Horikoshi menunjukkan hasil yang berbeda. Penelitian tentang Kyai  yang  kemudian  diterbitkan  dilakukan  oleh Zamakhsyari  Dhofier  dengan  judul  Tradisi  Pesantren  Studi  tentang pandangan Hidup Kyai. Buku ini memberikan gambaran yang cukup tentang pesantren dengan berbagai tipe, dan juga menyajikan pembahasan tentang lima komponen pesantren yakni Kyai, pondok, santri, kitab kuning, dan Masjid.Sebagaimana  dinyatakan  penulisnya  buku  ini  menggunakan pendekatan sosiologis  dalam  bentuk  penelitian  deskriptif  analisis.  Masih banyak  lagi  buku  yang  membahas  tentang  Kyai,  antara  lain:  Iik  Arifin Mansurnoor. 1990. Islam in an Indonesian worl ulama of Madura; Saifulah Ma’sum (ed). 1994. Menapak Jejak Mengenal Watak; Sekilas Biografi 26 Tokoh Nahdlatul Ulama; Pradjarta Dirdjosanjoto. 1999, Memelihara Umat Kiai Pesantren -Kiai Langgar Di Jawa; Sukamto. 1999. Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren; Abdul Jamil. 2001. Perlawanan Kiai Desa;   Mohammad Iskandar. 2001. Para Pengemban Amanah, Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat 1900-1950; Zainul Milal Bizawie. 2002. Perlawanan Kultural Agama  Rakyat,  Pemikiran  dan  Paham  Keagamaan  Sjekh  Ahmad  Al-Mutamakin  dalam  Pergumulan  Islam  dan  Tradisi (1645-1740);    Endang Turmudi. 2003. Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan; Abdurrahman Mas’ud. 2004. Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi; dan puluhan


buku biografi Kyai yang diterbitkan oleh generasi penerus pesantren masingmasing.buku yang membahas pesantren secara umum antara lain: Mustofa Syarif. 1980. Administrasi Pesantren; M. Dawam Rahardjo (ed). 1985. Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah; Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Kajian tentang Unsurndan Nilai Sistem  Pendidikan  Pesantren;  Kareel  A  Steenbrink. 1995.  Pesantren, Madrasah,  Sekolah:  Pendidikan  Islam  dalam  Kurum  Modern;  Said  Agil Sirajd.1999.  Pesantren  Masa  Depan:  Wacana  Pemberdayaan  dan Tranformasi; M Dawam Rahardjo(ed).1995. Pesantren dan Pembaharuan; dan M. Affan Hasyim et.al.2003. Menggagas Pesantren Masa Depan. bahkan
ada buku  membahas sesuatu seolah-olah sebuah ironi dari dunia pesantren, buku ini tulisan Hamdan Farchan dan Syarifuddin berjudul Titik Tengkar Pesantren. Model  pendidikan  yang  dikembangkan  juga  telah  dijadikan  kajian tersendiri, hal ini tampak antara lain pada karya: Ali Yafii,” Kitab Kuning, Produk Peradaban Islam” dalam Pesantren, 1989.Chotibul Imam, dkk. 1998. Spesifikasi Studi Agama Islam di Beberapa Pesantren Jawa Timur. Lemlit IAIN Jakarta; dan Martin Van Bruinessen. 1999. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Dalam konteks model pendidikan, tarekat sebagai salah satu muatan  pedididikan  pesantren  juga  sudah  dikaji  tersendiri.  Karya  yang membahas tarekat antara lain karya Martin Van Bruinessen sebagaimana


telah disebut sebelumnya, Bruinessen juga menulis tentang karya lain yang berjudul Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia. Karya lain adalah tulisan Mahmud  Suyuthi  berjudul  PolitikTarekat  Qodiriyah  wa  Naqsabandiyah Jombang. Santri sebagai salah satu komponen pesantren juga telah mendapat perhatian untuk dikaji hal ini tampak antara lain pada karya A Wahid Zaini, 1995.  Dunia  Pemikiran  Kaum  Santri;  Abdul  Kadir  Djaelani.1994.  Peran Ulama dan Santri dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia; Mark R. Woodward.1999. Islam Jawa Kesalehan Normatif Versus Kebatinan. Tulisan yang membahas kisah dunia pesantren dewasa ini sudah begitu banyak. Disamping yang telah dipaparkan sebelumnya, banyak tulisan tentang pesantren dan komponennya tersebsar di berbagai media, baik yang berupa artikel atau karya ilmiah popular   tersebar di berbagai majalah ilmiah, berkala, jurnal, bulletin, dan surat kabar. Pertanyaanya adalah bagaimanakah penempatannya dalam historiografi pesantren? Historiografi Pesantren dalam Perspektif Metodologis Historiografi secara umum dikelompokkan dalam dua bentuk yakni deskritif naratif dan deskritif analitis. Deskriptif naratif untuk menunjuk bentuk penulisan sejarah konvensional, dan deskriptif analisis untuk menunjukan penulisan sejarah baru atau sejarah kritis. Sebagaimana diketahui bahwa penulisan sejarah yang bentuknya deskriptif naratif dan deskritif analisis mengandung konsekuensi metodologi yang berbeda. Deskritif naratif tidak


banyak memerlukan metodologi yang canggih, walaupun tetap saja harus memegang  kaidah  penulisan  sejarah.  Deskriptrif  analisis  adalah  bentuk penulisan sejarah yang memerlukan metodologi yang tepat dengan berbagai konsep   dan teori dari berbagai ilmu bantu, sehingga dapat memperoleh penjelasan yang memadai dalam merekonstruksi sebuah peristiwa masa lalu.
Dalam bahasa sederhana deskriptif naratif   hanya memakai seleksi berdasar common sense dan tidak membutuhkan teori dan konsep-konsep ilmu sosial, sebaliknya deskriptif analitis sejak awal penulisannya menuntut alat-alat  analitis,  dalam  hal  ini  misalnya  dari  konsep  dan  teori  ilmu  sosial (Kartodirdjo, 1992).Tentu saja uraian ini tidak bermaksud menyederhanakan
pengertian metodologi, tetapi hanya untuk memberikan sebuah gambaran.
Dalam  kaitan  dengan  historiografi  pesantren  ada  pendapat  yang menarik dari Taufik Abdullah ( 1987), ia   memberikan kerangka berpikir yang dapat dianggap sebagai    metodologi. Taufik Abdullah menyatakan untuk menulis tentang pesantren setidaknya dilihat dari tiga aspek yakni pertama aspek internal pesantren; kedua,   aspek   jalinan mata rantai pesantren, dan
ketiga, aspek hubungan dunia pesantren dengan lingkungan sekitar. Jika kita perhatikan bahwa pendapat Taufik Abdullah sudah menyentuh seluruh aspek kehidupan dunia pesantren, langkah selanjutnya adalah bagaimana cara menuliskannya menjadi sebuah historiografi (penulisan sejarah), ini menjadi tantangan tersendiri.


Dari  sekian  banyak  tulisan  tentang  pesantren  dari  historiografi tradisional, historiografi kolonial, dan historiografi modern Indonesia. hanya beberapa tulisan ( di luar biografi kyai dan direktori pesantren)   yang dengan tegas menggunakan metodologi sejarah. Beberapa tulisan tentang pesantren pada historiografi tradisional dan historiografi kolonial, untuk masuk   kategori penulisan sejarah deskriptif naratif saja belum memenuhi. Dalam babad dan serat,  pesantren  disajikan  tidak  menggunakan  alur  sejarah  yang  jelas. Beberpa tulisan historiografi kolonial memang sudah terdapat tulisan tentang pesantren  yang  dapat  dikategorikan  sudah  menggunakan  alur  berpikir sejarah, misal tulisan Fokkens tentang pesantren Tegalsari, tulisan Drewes tentang tiga orang Kyai. dan tulisan Berg tentang kitab-kitab yang dipelajari di
pesantren. Demikian pula pada masa historiografi modern banyak tulisan tentang  pesantren  yang  tidak  menggunakan  metodologi  sejarah,  tetapi menggunakan metodologi ilmu sosial lain seperti antropologi, sosiologi atau bahkan politik. Tulisan tentang pesantren yang sejak awal menggunakan metodologi sejarah, kiranya perlu dipaparkan di sini untuk mengkaji perspektif
metodologinya.
Buku karya Mohammad Iskandar (2001) berjudul Para Pengemban Amanah Pergulatan Kyai dan Ulama di Jawa Barat, 1900 - 1950 adalah pengembangan tesis S2 yang kemudian diterbitkan. Dapat diketahui bahwa sebagai  karya  kampus  buku  ini  tidak  diragukan  lagi  menggunakan pendekatan ilmiah, artinya menggunakan perangkat metodologi dengan baik.


Hal ini tampak pada alasan dipilihnya subtansi materi yang berkaitan dengan ciri-ciri keilmuan sejarah. Pemilihan subtansi penelitian misalnya jelas sangat memperhatikan unsur change, dan growth.   Demikian juga ciri sejarah yang lain yakni pemilihan spasial dan temporal penelitian, kedua hal ini telah diberikan  alasan  yang  akademis.  Dalam  pengumpulan  sumber,  penulis melakukan  studi  kepustakaan (termasuk  kearsipan)  dan  lapangan.
Keberhasilannya  menemukan  dan  memanfaatkan  sumber  primer  yang berupa Dokumen dan Arsip, menempatkan buku ini sebagai karya sejarah yang memadai. Dalam akhir kata pengantarnya Taufik Abdullah menyatakan Iskandar berhasil menulis sejarah lokal yang dapat memberikan kearifan akademis yang bersifat umum. Bukankah hal ini termasuk tujuan utama penulisan sejarah?.
Buku lain adalah karya Abdul Jamil (2001) berjudul Perlawanan Kiai Desa: Pemikiran dan Gerakan Islam KH. Ahmad Rifai Kalisasak. Buku ini berasal dari disertasi   pada IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sejak awal penulisnya  menyatakan  bahwa  buku  ini  adalah  sejarah  intelektual  dan sejarah sosial, dan hasil dari sebuah penelitian sejarah. Tujuan penelitian
yang dilakukan adalah untuk merekontruksi pemikiran dan gerakan Islam dari tokoh KH Ahmad Rifai. Pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan sosiologis yang melihat anatomi gerakan KH Ahmat Rifai melalui pemikiran, tindakan, dan persekutuan. Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif yang bertumpu pada hermenuetika dan fenomenologi. Sebagaimana


karya Iskandar, karya Abdul Jamil juga menggunakan sumber primer sebagai titik tolak  pengembangan  penelitiannya.  Pada  kesimpulan  akhir  ditunjukan sebuah tipologi gerakan kebudayaan yang disebutnya sebagai regional-traditional-movement  dengan  tiga  ciri  yakni  loyalitas  lokal,  hubungan kekerabatan,  dan  hubungan  berdasar  status  tradisional.  Abdul  Jamil mengembangkan sebuah metodologi tertentu untuk mendukung kerjanya dalam kerangka sejarah intelektual dan sejarah sosial, setidaknya hal ini tampak pada digunakan analisis yang berbasis pada hermeneutika dan fenomenologi.
Buku yang mirip dengan karya Abdul Jamil adalah tulisan Zainul Milal Bizawie (2002) yang berjudul Perlawanan Kultural Agama Rakyat: Pemikiran dan Paham Keagamaan Syekh Ahmad al-Mutamakin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi. Buku ini diakui penulisnya sebagai sejarah pemikiran dan merupakan  kajian  tentang  peta  pergumulan  Islam  Jawa.  Zainul  dalam
studinya menggunakan metodologi yang ditawarkan oleh Mohammed Al Jabiri yang meliputi   pendekatan   strukturalis,   sejarah, dan kritik ideologi. Secara  menyeluruh Zainul mengembangkan  pendekatan  multidisipliner sebagaimana disarankan oleh Sartono Kartodirdjo. Jika dikaitkan dengan historiografi pesantren, apa yang dilakukan oleh Zainul (dan juga Abdul
Jamil) adalah sebuah khasanah baru. Kajian tentang teks dari komunitas pesantren  dengan  segala  implikasinya  dalam  kerangka  studi  sejarah merupakan hal yang menggembirakan. Kemampuan dalam menggunakan


metodologi untuk menghasilkan sebuah sejarah pemikiran dari komunitas pesantren  perlu  mendapat  perhatian.  Buku  ini  memperkuat  barisan historiografi pesantren yang telah menggunakan metodologi sejarah dalam penulisannya. Satu  buku  lagi  yang  perlu  mendapat  perhatian  adalah  karya Abdurrahman Mas’ud yang berjudul Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi. Buku ini walaupun tidak secara eksplisit menyatakan sebagai buku sejarah, tetapi layak untuk disebut karya sejarah. Isinya lebih mirip dengan kumpulan biografi para kyai besar pengembang pesantren di Jawa, namun deskripsinya lebih menarik karena menggunakan metodologi dengan baik. Karya seperti ini mungkin dapat disebut prosopography. Kerangka yang digunakan untuk melakukan pengkajian adalah socio-intelectual history, hal ini  memang  sesuai  dengan  tuntutan  metodologi  dalam  prosopography. Penggunaan teori kharisma dari Weber dan prinsip sosiologi pendidikan Durkheim dalam menjelaskan berbagai fakta,   telah menempatkan buku ini pada kategori penulisan sejarah yang menggunakan metodologi, meskipun tidak semata-mata metodologi sejarah. Empat buku yang dibahas terakhir adalah buku-buku yang relatif masih baru karena terbit pasca reformasi. Apakah hal ini dapat dipahami sebagai  era  kebangkitan  historiografi  pesantren ? Banyak historiografi pesantren  yang  menggunakan  metodologi  sejarah  tidak  diterbitkan  dan hanya menjadi koleksi perpustakaan perguruan tinggi. Artinya, secara riil ada


upaya  untuk  mengembangkan  historiografi  pesantren  yang  memiliki kualifikas sebagai“historiografi”  yang   secara   keilmuan   dapat dipertanggungjawabkan. Barangkali dengan berdasar pada kerangka berpikir yang disodorkan Taufik Abdullah, tiga aspek yang menjadi fokus kajian tentang  pesantren  dapat  dirumuskan  metodologinya.  Aspek  internal
pesantren  yang  meliputi  Kyai,  keluarga  besar  kyai,  sistem  pendidikan pesantren, perubahan dan perkembangan pesantren baik secara kualitatif maupun  kuantitatif,  dan  juga  konflik  di  pesantren,  dapat  dirumuskan metodologinya. Misalnya tentang Kyai, sebagaimana yang sudah dipaparkan dapat   dikembangkan   sebuah   tulisan   sejarah   berbentuk   biografi prosopography, sejarah intelektual/sejarah pemikiran, dan sejarah mentalitas. Pemilihan bentuk tulisan tentu saja akan berpengaruh pada metodologinya.Untuk sejarah pemikiran dapat dilakukan dengan tiga pendekatan antara lain kajian teks, kajian konteks sejarah, dan kajian hubungan antara teks dan masyarakatnya (Kuntowijoyo, 2003:191).  Demikian  pula  dengan  aspek jalinan mata rantai pesantren, dapat dikembangkan tulisan sejarah lokal atau sejarah  agama.  Aspek  hubungan  dunia  pesantren  dengan  llingkungan sekitarnya dapat dikembangkan menjadi tulisan sejarah sosial atau sejarah lisan.
















Penutup
Jika pengertian historiografi dipahami sederhana sebagai penulisan sejarah pesantren dalam arti kisah tentang pesantren, maka semua tulisan


yang menyangkut pesantren baik pada masa historiografi tradisional, kolonial dan modern dapat  dimasukan dalam historiografi pesantren.  Tetapi jika historiografi diartikan sebagai sejarah penulisan sejarah, sehingga pengertian historigrafi pesantren adalah sejarah penulisan sejarah pesantren, maka tidak semua tulisan sejarah dapat dikategorikan sebagai historiografi pesantren.
Barangkali memang perlu dibedakan dengan tegas antara referensi tentang pesantren  dan  historiografi  pesantren.  Pengertian  referensi  tentang pesantren mempunyai cakupan lebih luas,   tulisan berbentuk apa saja yang berisi tentang pesaantren masuk di dalamnya. Ketika berbicara tentang historiografi  pesantren,  maka  ada  kriteria-kriteria  tertentu  yang  menjadi
patokan, misalnya tentang metodologi dan metodenya. Akhirnya perlu mendapat perhatian tambahan dari para sejarawan yang berminat untuk mendalami pesantren, bahwa masih banyak sisi dunia pesantren  yang  perlu  dikaji  dalan  kaitannya  dengan  perjalanan  sejarah
Indonesia umumnya, dan sejarah perkembangan Islam di tanah air pada khususnya. Rekonstruksi yang dibekali dengan metodologi yang baik akan memberikan pencerahan pemahaman terhadap pesantren dan komunitas “kaum sarungan” yang telah terbukti mampu bertahan sejak abad XV hingga sekarang. Historiografi pesantren yang benar-benar seperti ini akan dapat
memberikan sumbangsih  nyata bagi siapa saja yang membacanya.


DAFTAR PUSTAKA

Bruinessen,  Martin  van,  Tarekat  Naqsabandiyah  di  Indonesia:  Survey
            histories, Geografis, dan Sosiologis, Bandung: Mizan, 1992.
Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi
            Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1999.
Bizawie, Zainul Milal, Perlawanan Kultural Agama Rakyat, Pemikiran dan Paham Keagamaan Syeh Ahmad Al-Mutamakin dalam  Pergumulan
Islam dan Tradisi (1645-1740), Yogyakarta: Samha, 2002.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup
            Kyai, Jakarta: LP3ES, 1994.
Dirdjosanjoto, Pradjarta, Memelihara Umat: Kiai Pesantren - Kiai Langgar di
            Jawa, Yogyakarta: LKiS, 1999.
Djamil, Abdul, Perlawanan Kiai Desa, Pemikiran dan Gerakan Islam KH.
            Ahmad Rifai Kalisalak, Yogyakarta: LKiS, 2001.
Farchan, Handan & Syarifuddi, Titik Tengkar Pesantren: Resolusi Konflik
            Masyarakat Pesantren, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Gobee, E & C. Anriaanse, Nasihat-nasihat C. Smouck Hurgronye Semasa
            Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889 - 1936,Jilid
            V, Jakarta: INIS, 1991.
Hasyim, Affan, et.al., Menggagas Pesantren Masa Depan, Yogyakrta: Qirtas,
            2003.
Horikoshi, Hiroko, Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 1987.
Iskandar, Mohammad, Para Pengemban Amanah Pergulatan Pemikiran Kiai
            dan Ulama di Jawa Barat, 1900-1950, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2001.
Kartodirdjo, Sartono, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah,
Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Komiten  Ronggowarsito  &  Sudibjo,  Babad  Cariyos  Lelampahannipun
            Suwargi R.Ng. Raonggowarsito. Jakarta: Depdikbud, 1979.
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Edisi Kedua. Yogyakarta: Tiara Wacana.
            2003.
Manurnoor,  Iik  Arifin,  Islam  in  an  Indonesia  World  Ulama  of  Madura,
            Yogyakarta: UGM Press, 1990.
Mas’ud, Abdurrahman, Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi,
            Yogyakarta: LKiS.2004.
Moestopo, M.Habib, Kebudayaan Islam di Jawa Timur: kajian Beberapa
            Unsur Budaya Masa Peralihan, Yogyakarta: Jendela, 2001.
Paku  Buwana  III,  Serat  Centhini (Suluk  Tambangraras)Jilid  I +  IV,
Kalatinaken dening Kamajaya. Yogyakarta: Yayasan Centhini, 1988..
Purwadi & Mahmudi, Hidup, Cinta dan Kematian Ronggowarsito, Yogyakarta:
            Pion Harapan. 2004.
Sayono, Joko, “Perkembangan Pesantren di Jawa Timur”, Tesis PPS UGM
            Yogyakarta, 2001
Santosa,  Soewito,  Babad  Tanah  Jawi         (Galuh  Mataram).  Sala:  Tanpa
Penerbit, 1970.
Suminto, Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1985.
Sutjiatiningsih, Sri & Slamet Kutoyo, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Timur,
            Surabaya: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudyaan Daerah,
            1986.
Suyuti, Mahmud, Politik Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah Jombang:
            Hubungan Agama, Negara dan Masyarakat,Yogyakarta: galang Press.
            2001.
Steenbrink, Karel A, Pesantren, Madrasah. Sekolah: pendidikan Islam dalam
            Kurun Modern, Jakarta: LP3ES, 1994.
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta:
            LP3ES. 1987.
Woodward, Mark R, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan,
            Yogyakarta: LKiS, 2004.
Zaini, A. Wahid. Dunia Pemikiran Kaum Santri, Yogyakarta: LKPSM, 1995
AG., Muhaimin Dr, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon,
            Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2002. Cet. 2.
Al-Gulayani, Musthafa Muhammad, Idhatun Nashihin, Beirut: Al-Maktabah Al-
            Ahliyah, 1949.
Alsa, Asmadi, Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif serta Kombinasinya dalam
            Penelitian Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Amidjaya,  Rosad  dkk,  Pola  Kehidupan  Santri  Pesantren  Buntet  Desa
            Mertapadakulon   Kecamatan   Astanajapura   Kabupaten   Cirebon,
            Yogyakarta:  Departemen  Pendidikan  Dan  Kebudayaan  Direktorat
            Jenderal Kebudayaan Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan
            Nusantara. Javanologi 1985.
Anoraga, Panji, Psikologi Kepemimpinan, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Azra, Azyumardi, Penelitian Non-Nonkoperatif Tentang Islam: Pemikiran Awal
            Tentang Pendekatan Kajian Sejarah Pada Fakultas Adab, Dalam Harun
            Nasution dkk, tradisi baru penelitian agama islam tinjauan antardisiplin
            ilmu, Bandung: Penerbit Nuansa, 1998, Cet I.
Bekker,  Anton,  dkk,  Metodologi  Penelitian  Filsafat,  Yogyakarta:  Kanisius
            (Anggota IKAPI), 1994.
Echlos, John M. dan Sysdhily, Hasan, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: PT.
            Gramedia, 1989.
Fathurrahman, Pupuh, Pengembangan Pondok Pesantren; Analisis Terhadap
            Keunggulan Sistem Pendidikan Terpadu, Lektur Seri XVI/2002.
Ghazali, M. Bahri, Pesantren Berwawasan Lingkungan, Jakarta: CV. Prasasti,
            2003.
H.M., Muhtarom, Reproduksi Ulama di Era Globalisasi; Resistensi Tradisional
            Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 2002, Jilid 2.
Hasan,  Ahmad  Zaeni,  Perlawanan  dari  Tanah  Pengasingan  Kyai  Abbas,
            Pesantren Buntet dan Bela Negara, Jakarta: Elsas 2000.
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
            1996.
Kartono, Kartini, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Bandung: Mandar Maju,
            1990.
Khairuman, Badri, Islam dan Pemberdayaan Umat, Bandung: Pustaka Setia,
            2005.


Madjid, Nurkholis, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta:
            Paramadina, 1997.
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren; Suatu Kajian Tentang Unsur
            dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994.
Masyhud, M. Sulthon, dan Moh. Khusnurdilo, Manajemen Pondok Pesantren,
            Jakarta: Diva Pustaka, 2003.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Gramedia Pustaka
            Utama, 1997.
Nasir,  M.  Ridlwan,  Mencari  Tipologi  Format  Pendidikan  Ideal,  Pondok
            Pesantren di Tengah Arus Perubahan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Nata, Abudin, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga
            Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Grasindo, 2001.
Nawawi,  Hadari,  Kepemimpinan  Menurut  Islam,  Yogyakarta:  Gajah  Mada
            University Press, 1993.
Noer, Ahmad Syafi’i., Pesantren: Asal-usul dan Pertumbuhan Kelembagaan,
            dalam buku “Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga
            Pendidikan Islam di Indonesia, karya Nata Abudin (ed), Jakarta: PT.
            Grasindo, bekerja sama dengan IAIN, 2001.
Purwanto Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: Remaja
            Rosdakarya, 2003, cet. 12.
Rangkuti, freddy., Riset Pemasaran, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997.
Siradj,  Agiel  Sa’id,  Pesantren  Masa  Depan,  Wacana  Pemberdayaan  dan
            Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.
SJ., A.M. Mangunhardjana, Kepemimpinan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004,
            Cet. 20.
SM, Isma’il., Signifikansi Peran Pesantren dalam Pengembangan Masyarakat
            Madani (Studi  Kasus  di  Pondok  Pesantren  Maslakul  Huda  Kajen
            Kabupaten Pati Jawa Tengah), Penelitian Individu, Bantuan Proyek
            PPTA/IAIN Walisongo Semarang Tahun 2002.
______"Signifikansi Peran Pesantren dalam Pengembangan Masyarakat Madani".
            Dalam Ismail SM dan Abdul Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan
            Masyarakat Madani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Soetopo,  Hendiyat  dan  Soemanto  Waty,,  Kepemimpinan  dan  Supervisi
            Pendidikan, Bina Aksara, 1984.
Suit, Jusuf, Aspek Sikap Mental Dalam Manajemen Sumber Daya Manusia,
            Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996.
Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1998

Susanto,  Budi (eds.),  Politik  Penguasa  dan  Siasat  Pemoeda,  Yogyakarta: Kanisius, 1984.
Suyoto, "Pondok Pesantren dalam Alam Pendidikan Nasional". Dalam M. Dawam
            Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: LP3ES, 1988.
Syafiie, Inu Kencana, Al-Qur’an dan Ilmu Administrasi, Jakarta: Rineka Cipta,
            2000.
Syukur, Fatah, Madrasah di Indonesia; Dinamika, Kontinuitas dan Problematika,
            dalam Mas’ud Abdurrahman, dkk., “Dinamika Pesantren dan Madrasah”,
            Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan IAIN Walisongo Semarang, 2002.
Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta:
            Djambatan, 1992.
Ulwan, Abdullah, Tarbiyaul Awlad fil Islam, Beirut: Darus Salam, 1893.
UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS     (Sistem Pendidikan Nasional),
Beserta Penjelasannya, Bandung: Citra Umbara, 2003.
Wahid, Abdurrahman, dkk, Pesantren  dan Pembaharuan, Jakarta: LP3ES, 1985. Winardi, Pemimpin dan Kepemimpinan dalam Manajemen, Bandung: Penerbit
            Alumni, 1983.
Yousda, Ny, Ine I. Amirman, Penelitian dan Statistik Pendidikan, Jakarta: Bumi
            Aksara, 1993.
Graaf, H.J. De. 1971. Historiografi Hindia Belanda. Jakarta: Bharatara.
Harun Nasution. 1996. Pembaharuan Dalam Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Helius Sjamsudin, dkk. 1993. Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Kemerdekaan : 1945 – 1966. Jakarta : Depdikbud.
I Wayan Badrika. 2006. Sejarah. Jakarta: Gelora Aksara Pratama.
Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Lapidus Ira M. 1988. Sejarah Sosial Umat Islam (bagian 3). Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

R Soekmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I. Jakarta: Kanisius.

__________. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Jakarta: Kani

0 Comments

Post a Comment

Copyright © 2009 dunia kita-kita All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.