1
dinasti isyana,pemerintahan airlangga, dan kerajaan kediri
Posted by Unknown
on
2:38 AM
in
sejarah kami
Dinasti Isyana
Wangsa Isyana adalah sebuah dinasti yang berkuasa di Kerajaan Medang periode Jawa Timur pada abad ke-10
sampai awal abad ke-11. Istilah Isyana
berasal dari nama Sri Isyana Wikramadharmottunggadewa,
yaitu gelar Mpu Sindok
setelah menjadi raja Medang 929–947. Dinasti ini menganut
agama Hindu
aliran Siwa.
Mpu sendok secara mendadak memindahkan pemerintah Mataram ke lembah
hulu kali Brantas, jawa timur, hal ini mungkin di karenakan bencana alam yang
dasyat, karena meletusnya Gunung berapi atau mungkin karena wabah penyakit,
tidak di ketahui dengan pasti sebab musibahnya, kalaulah sejak itu kerajaan di
Jawa tengah sisi “setruktur pisikal” tampak berakir, namun Mpu sendok kokoh
melestarikan, tetap bergelar Raja Mataram. Jawa tengah dan bumi Kanjuruhan Jawa
timur
Berdasarkan agama yang dianut, Mpu Sindok diduga merupakan keturunan
Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang periode Jawa Tengah. Salah satu
pendapat menyebutkan bahwa Mpu Sindok adalah cucu Mpu Daksa yang memerintah
sekitar tahun 910–an.
Mpu Daksa sendiri memperkenalkan pemakaian Sanjayawarsa (kalender Sanjaya) untuk menunjukkan bahwa dirinya
adalah keturunan asli Sanjaya. Dengan demikian, Mpu Daksa dan Mpu Sindok dapat
disebut sebagai anggota Wangsa
Sanjaya.
Namun ada juga pendapat yang menolak keberadaan Wangsa Sanjaya dan
Wangsa Isyana, antara lain yang diajukan oleh Prof. Poerbatjaraka, Pusponegoro,
dan Notosutanto. Menurut versi ini, dalam Kerajaan Medang hanya ada satu
dinasti saja, yaitu Wangsa Syailendra, yang semula beragama Hindu. Kemudian muncul
Wangsa Syailendra terpecah dengan munculnya anggota yang beragama Buddha.Dengan kata lain,
versi ini berpendapat bahwa Mpu Sindok adalah anggota Wangsa Syailendra yang
beragama Hindu Siwa, dan yang memindahkan istana Kerajaan Medang ke Jawa Timur.
Pemerintahan Airlangga
Airlangga Adalah raja pertama Kerajaan Kahuripan,
yang dibangun dari sisa-sisa reruntuhan Kerajaan Medang akibat serbuan
Sriwijaya. Beliau memerintah antara tahun 1028 - 1035. Ia disebutkan sebagai
seorang yang memerintah Mpu Kanwa untuk menulis Kakawin Arjunawiwaha. Namanya
diabadikan sebagai nama salah satu universitas negeri di Surabaya.
Airlangga merupakan putera pasangan Mahendradatta
(puteri dari Dinasti Isyana, Medang) dan Udayana (raja Dinasti Warmadewa,
Bali). Ia dibesarkan di istana Watugaluh (Kerajaan Medang) di bawah
pemerintahan raja Dharmawangsa. Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup
kuat, bahkan mengadakan penaklukan ke Bali, mendirikan koloni di Kalimantan
Barat, serta mengadakan serangan ke Sriwijaya.
Pada tahun 1006, ketika Airlangga berusia 16 tahun,
Sriwijaya mengadakan pembalasan atas Medang. Wurawari (sekutu Sriwijaya)
membakar Istana Watugaluh, Dharmawangsa beserta bangsawan tewas dalam serangan
itu. Airlangga berhasil melarikan diri ke hutan, dan menjadi pendeta (pertapa),
ditemani oleh pengawalnya, Narotama. Salah satu bukti petilasan Airlangga
sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu - Jombang (Jawa
Timur).
Setelah beberapa tahun berada di hutan, akhirnya
pada tahun 1019, Airlangga berhasil mempersatukan wilayah kerajaan Medang yang
telah pecah, membangun kembali kerajaan, dan berdamai dengan Sriwijaya.
Kerajaan baru ini dikenal dengan Kerajaan Kahuripan, yang wilayahnya membentang
dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat. Airlangga dikenal sebagai model
toleransi beragama, sebagai pelindung agama Hindu Syiwa dan Buddha. Airlangga
memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah dan Bali. Pada tahun 1025,
Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruh Kahuripan seiring dengan melemahnya
Sriwijaya. Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat
perdagangan yang penting untuk pertama kalinya.
Di bawah pemerintahan Airlangga, seni sastra
berkembang. Tahun 1035, Mpu Kanwa menggubah kitab Arjuna Wiwaha, yang
diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan Arjuna, inkarnasi
Wisnu yang tak lain adalah kiasan Airlangga sendiri. Kisah Airlangga
digambarkan dalam Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan.
Pada akhir hayatnya, Airlangga berhadapan dengan
masalah suksesi. Pewarisnya, Sanggramawijaya, memilih menjadi pertapa ketimbang
menjadi suksesor Airlangga. Ia dikaitkan dengan legenda Dewi Kilisuci dan Gua
Selomangleng di Gunung Klothok, 5 KM arah barat kota Kediri. Pada tahun 1045,
Airlangga membagi Kahuripan menjadi dua kerajaan untuk dua puteranya: Janggala
dan Kadiri. Airlangga sendiri menjadi pertapa, dan meninggal tahun 1049.
Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri adalah sebuah kerajaan besar di Jawa
Timur yg berdiri pada abad ke-12. Kerajaan ini merupakan bagian dari kerajaan
Mataram Kuno. Pusat kerajaannya terletak di tepi sungai brantas yang pada masa
itu telah menjadi jalur pelayaran yang ramai. Kerajaan Kediri lahir dari
pembagian kerajaan mataram oleh raja Airlangga (1000-1049). Pemecahan kerajaan
ini dilakukan agar tidak terjadi perselisihan diantara anak-anak selirnya.
Tidak ada bukti yang jelas bagaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi
beberapa bagian. Dalam abad disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat atau lima
bagian. Tetapi dalam perkembangannya hanya dua kerajaan yang sering disebut,
yaitu Kediri (pangjalu) dan jenggala. Samarawijaya sebagai pewaris sah kerajaan
mendapat ibu kota lama, yaitu dahanaputra dan nama kerajaannya diubah menjadi
pangjalu atau di kenal juga sebagai kerajaan Kediri.
1. Perkembangan Kerajaan
Kediri
Dalam perkembangannya Kerajaan
Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala
semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri. Akan
tetapi hilangnya jejak Jenggala mungkin juga disebabkan oleh tidak adanya
prasasti yang ditinggalkan atau belum ditemukannya prasasti yang ditinggalkan
Kerajaan Jenggala. Kejayaan Kerajaan Kediri sempat jatuh ketika Raja Kertajaya
(1185-1222) berselisih dengan golongan pendeta. Keadaan ini dimanfaatkan oleh
Akuwu Tumapel Tunggul Ametung.
Namun kemudian kedudukannya direbut oleh Ken Arok. Diatas
bekas Kerajaan Kediri inilah Ken Arok kemudian mendirikan Kerajaan Singasari,
dan Kediri berada di bawah kekuasaan Singasari. Ketika Singasari berada di
bawah pemerintahan Kertanegara (1268-1292), terjadilah pergolakan di dalam
kerajaan. Jayakatwang, raja Kediri yang selama ini tunduk kepada Singasari
bergabung dengan Bupati Sumenep (Madura) untuk menjatuhkan Kertanegara.
Akhirnya pada tahun 1292 Jayakatwang berhasil mengalahkan Kertanegara dan
membangun kembali kejayaan Kerajaan Kediri.
Mapanji
Garasakan
memerintah tidak lama. Ia digantikan Raja Mapanji Alanjung (1052 – 1059 M). Mapanji Alanjung kemudian
diganti lagi oleh Sri Maharaja Samarotsaha. Pertempuran yang terus
menerus antara Jenggala dan Panjalu menyebabkan selama 60 tahun tidak ada
berita yang jelas mengenai kedua kerajaan tersebut hingga munculnya nama Raja
Bameswara (1116 – 1135 M) dari Kediri.
Pada masa itu ibu kota Panjalu telah
dipindahkan dari Daha ke Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan nama
Kerajaan Kediri. Raja Bameswara menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak
bertaring di atas bulan sabit yang biasa disebut Candrakapala.
Setelah Bameswara turun takhta, ia digantikan Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya itu berhasil mengalahkan Jenggala. Berturut-turut raja-raja Kediri sejak Jayabaya sebagai berikut:
Setelah Bameswara turun takhta, ia digantikan Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya itu berhasil mengalahkan Jenggala. Berturut-turut raja-raja Kediri sejak Jayabaya sebagai berikut:
a. Raja Jayabaya (1135-1159 M)
Raja
Jayabaya menggunakan lencana kerajaan berupa lencana Narasingha. Kemenangannya
atas peperangan melawan Jenggala diperingatinya dengan memerintahkan Mpu Sedah
menggubah kakawin Bharatayudha.
Karena Mpu Sedah tidak sanggup menyelesaikan kakawin tersebut, Mpu Panuluh
melanjutkan dan menyelesaikannya pada tahun 1157 M. Pada masa pemerintahannya
ini, Kediri mencapai puncak kejayaan.
b. Raja
Sarweswara
(1159 – 1169 M)
Pengganti
Jayabaya adalah Raja Sarweswara. Tidak banyak yang diketahui mengenai raja ini
sebab terbatasnya peninggalan yang ditemukan. Ia memakai lencana kerajaan
berupa Ganesha.
c. Raja
Kameswara
(1182 – 1185 M)
Selama beberapa waktu, tidak ada berita yang jelas mengenai raja Kediri hingga munculnya Kameswara. Pada masa pemerintahannya ini ditulis kitab Kakawin Smaradahana oleh Mpu Darmaja yang berisi pemujaan terhadap raja, serta kitab Lubdaka dan Wretasancaya yang ditulis oleh Mpu Tan Alung. Kitab Lubdaka bercerita tentang seorang pemburu yang akhirnya masuk surga dan Wretasancaya berisi petunjuk mempelajari tembang Jawa Kuno.
Selama beberapa waktu, tidak ada berita yang jelas mengenai raja Kediri hingga munculnya Kameswara. Pada masa pemerintahannya ini ditulis kitab Kakawin Smaradahana oleh Mpu Darmaja yang berisi pemujaan terhadap raja, serta kitab Lubdaka dan Wretasancaya yang ditulis oleh Mpu Tan Alung. Kitab Lubdaka bercerita tentang seorang pemburu yang akhirnya masuk surga dan Wretasancaya berisi petunjuk mempelajari tembang Jawa Kuno.
d. Raja
Kertajaya
(1185 – 1222 M)
Pada masa pemerintahan Kertajaya, terjadi
pertentangan antara para brahmana dan Raja Kertajaya. Hal ini terjadi karena
para brahmana menolak menyembah raja yang menganggap dirinya sebagai dewa. Para
brahmana lalu meminta perlindungan pada Ken Arok. Kesempatan ini digunakan Ken
Arok untuk memberontak terhadap Kertajaya. Pada tahun 1222 M terjadi
pertempuran hebat di Ganter dan Ken Arok berhasil mengalahkan Kertajaya.
2. karya Sastra Zaman Kediri
Seni
sastra mendapat banyak perhatian pada zaman kerajaan panjalu-kediri. Pada tahun
1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh.
Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Korawa
sebagai kiasan kemenangan Sri Jayabhaya atas Janggala.selain itu Mpu Panuluh
juga menulis Kakawin Hariwangsa dan Ghatotkachasraya. Kemudian pada zaman
pemerintahan Kertajaya terdapat pujangga bernama Mpu Monaguna yang menulis
Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayaona.
3.
kehidupan Sosial Masyarakat Kerajaan Kediri
Kehidupan
sosial kemasyarakatan pada zaman Kerajaan Kediri dapat kita lihat dalam kitab
Ling-Wai-Tai-Ta yang disusun oleh Chou Ku-Fei pada tahun 1178 M. kitab tersebut
menyatakan bahwa masyarakat Kediri memakai kain sampai bawah lutut san rambut
di urai. Rumah-rumahnya rata-rata sangat bersih dan rapi. Pemerintahannya sangat
memerhatikan keadaan rakyatnya sehingga pertanian, peternakan, dan perdagangan
mengalami kemajuan yang cukup pesat.
Golongan-golongan dalam
masyarakat Kediri dibedakan menjadi tiga berdasarkan kedudukan dalam
pemerintahan kerajaan:
a.
Golongan masyarakat pusat
(kerajaan), yaitu masyarakat yang terdapat dlam lingkungan raja dan beberapa
kaum kerabatnya serta kelompok pelayannya.
b.
Golongan masyarakat thani
(daerah), yaitu golongan masyarakat yang terdiri atas para pejabat atau petugas
pemerintahn di wilayah thani.
c.
Golongan masyarakat
noonpemerintahan, yaitu golongan masyarakat yang tidak mempunyai kedudukan dan
hubunggan dengan pemerintahan secara resmi atau masyarakat wiraswasta.
4. Runtuhnya Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri/Daha akhirnya runtuh pada tahun 1144 Saka
(1222 M). Menurut kitab Nagarakertagama Sri Ranggah Rajasa yang bertahta di
Kutaraja, ibukota kerajaan Tumapel di sebelah timur Gunung Kawi, pada tahun
1144 Saka (1222 M) menyerang raja Kediri yaitu Raja Sri Krtajaya. Krtajaya
kalah dan melarikan diri ke tempat para ajar di lereng (gunung) yang sunyi.
Semua pengikutnya, terutama para prajurit yang tertinggal di kerajaan, dapat
dihancurkan. Menurut Pararaton, Raja Kediri bernama Dandang Gendis. Pada suatu
ketika raja minta kepada para bhujangga penganut agama Siwa dan Budha supaya
menyembah kepadanya. Para bhujangga menolak, karena sepanjang sejarah tidak ada
bhujangga menyembah raja. Raja lalu memperlihatkan kesaktiannya dengan
memancangkan tombak di tanah dengan ujungnya diatas, dan ia lalu duduk diatas
ujung tombak dalam bentuk Bhatara Guru, berlengan empat dan bermata tiga. Para
pujangga tetap menolak menyembah raja, lalu melarikan diri ke Tumapel
berlindung pada Ken Arok. Sejak saat itu Tumapel tidak mengakui kekuasaan Daha.
Tidak lama kemudian para bhujangga penganut agama Siwa dan
Budha merestui Ken Arok sebagai raja Tumapel, negaranya bernama Singhasari,
dengan gelar penobatannya Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi. Lalu ia
menyerang Daha. Tentara Daha dipimpin oleh adik raja Dandang Gendis, Mahisa
Bungalan. Pertempuran terjadi di sebelah utara Ganter, tentara Daha terdesak
dan Mahisa Bungalan gugur dalam pertempuran, bersama dengan mentrinya yang
bernama Gubar Baleman. Raja Dandang Gendis mengundurkan diri dari pertempuran,
lalu kembali ke alam dewa-dewa bersama dengan segenap pengikutnya. Demikian
juga dengan adik-adik raja tiga orang.
Demikianlah kitab Negarakertagama memberikan keterangan
kepada kita bahwa kerajaan Kediri/Daha runtuh pada tahun 1222 M. Maka
berakhirlah masa kekuasaan wangsa Isyana setelah memerintah selama tiga abad,
seperti halnya wangsa Sailendra. Dalam kitab negarakertagama disebutkan
pulambahwa dengan di taklukkannya Kediri oleh ken arok dari tumapel, maka
bersatulah janggala dan Kediri sama-sama beraja ke tumapel.