0
minangkabau
Posted by Unknown
on
7:31 AM
in
sejarah kami
Pada sebagian Masyarakat Indonesia ada yang bertanya mengenai Suku pada kebudayaan Minangkabau. Istilah ini agak membingungkan, karena ada yang mengaitkan suku pada kebudayaan Minangkabau sebagai suku atau etnis, tetapi ada juga yang mengartikan sebagai marga seperti yang terdapat pada suku Batak, Ambon, Toraja, dan Minahasa. Pada kebudayaan Minang suku disini bisa diartikan sebagai klan atau juga sebagai marga atau nama keluarga yang turun atau diambil dari garis keturunan Ibu yang disebut Matrilienal.
Suku dalam Tatanan Budaya Masyarakat Minangkabau merupakan basis dari organisasi sosial, sekaligus tempat pertarungan kekuasaan yang fundamental. Pengertian awal kata suku dalam Bahasa Minang dapat bermaksud satu perempat, sehingga jika dikaitkan dengan pendirian suatu nagari di Minangkabau dapat dikatakan sempurna apabila telah terdiri dari komposisi empat suku yang mendiami kawasan tersebut.
Selain sebagai basis politik, suku juga merupakan basis dari unit-unit ekonomi. Kekayaan ditentukan oleh kepemilikan tanah keluarga, harta, dan sumber-sumber pemasukan lainnya yang semuanya itu dikenal sebagai harta pusaka. Harta pusaka merupakan harta milik bersama dari seluruh anggota kaum-keluarga. Harta pusaka tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat menjadi milik pribadi. Harta pusaka semacam dana jaminan bersama untuk melindungi anggota kaum-keluarga dari kemiskinan. Jika ada anggota keluarga yang mengalami kesulitan atau tertimpa musibah, maka harta pusaka dapat digadaikan.
Menurut Tambo alam Minangkabau, pada masa awal pembentukan budaya Minangkabau, hanya ada empat suku induk dari dua kelarasan. Suku-suku tersebut adalah Suku Koto, Suku Piliang, Suku Bodi, dan Suku Caniago. Sedangkan kelarasan yang dimaksud adalah kelarasan koto piliang dan kelarasan bodi caniago, kelarasan disini semacam sistem kekuasaan, dan dalam perkembangannya kelarasan koto piliang cendrung kepada sistem aristokrat sedangkan kelarasan bodi caniago lebih kepada sistem konfederasi.
Suku-suku dalam Minangkabau pada awalnya kemungkinan ditentukan oleh raja Pagaruyung, namun sejak berakhirnya kerajaan Pagaruyung tidak ada lagi muncul suku-suku baru di Minangkabau.
Sedangkan orang Minang di Negeri Sembilan Malaysia membentuk 13 suku baru yang berbeda dengan suku asalnya di Minangkabau.
Berikut daftar suku atau klan yang terdapat dalam Budaya Minangkabau
Suku Sebagai Representasi Klan Pendatang
Quote:Pada hakikatnya suku pada masa awal terbentuknya adalah representasi dari klan-klan yang membentuk masyarakat Minangkabau. Sebagaimana yang kita ketahui, Minangkabau pada masa awal pembentukan masyarakatnya adalah wilayah yang terbuka untuk didiami pelbagai bangsa sebagai konsekuensi letaknya yang dekat dengan jalur perdagangan internasional. Pantai Barat Sumatera (Barus), Selat Malaka dan daerah aliran sungai-sungai besar seperti Rokan, Siak, Kampar, Inderagiri dan Batanghari adalah pintu masuk utama berbagai bangsa pendatang sejak zaman megalitikum sampai periode berkembangnya kerajaan-kerajaan di Pesisir Timur Sumatera. Kaum pendatang ini segera menghuni kawasan Luhak Nan Tigo yang dalam Tambo disebut sebagai wilayah inti Minangkabau.
Persebaran Kaum Non-Pariangan di Luhak Nan Tigo
Quote:Meskipun tambo-tambo yang beredar dalam berbagai versi itu sepakat bahwa daerah pertama yang dihuni nenek moyang orang Minangkabau adalah Nagari Pariangan yang terletak di lereng sebelah selatan Gunung Marapi, namun ada informasi yang luput dari “teorema penyatuan silsilah” yaitu soal penduduk yang telah terlebih dahulu menghuni Luhak Agam dan Luhak Limopuluah Koto.
Dalam satu episode tambo tentang pencarian tanah hunian baru, ninik yang bertiga (Datuak Katumanggungan, Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Sri Maharajo Nan Banegonego) naik ke puncak Gunung Marapi untuk meninjau lokasi hunian baru yang terletak di sebelah Utara, Barat dan Timur Gunung Marapi. Menurut pandangan mereka tempat-tempat tersebut ternyata sudah ada yang menghuni.
Dalam cerita selanjutnya, ketiga ninik ini menyebutkan:
Pengamatan ini ternyata sesuai dengan Hikayat Asal Usul Suku Jambak yang menceritakan bahwa ketika mereka masuk ke Luhak Agam yaitu ke daerah Koto Tuo Balai Gurah, mereka menemukan penduduk yang lebih dulu menghuni daerah ini. Suku Jambak berasal dari kaum pengelana (bisa juga pengungsi) yang datang dari Negeri Champa. Champa adalah sebuah negeri yang selalu menjadi target serangan tetangga tetangganya, sehingga menyebabkan emigrasi besar pada setiap serangan-serangan ini. Bahkan kata Jambak ini sangat mungkin adalah perubahan lafal dari Champa. Suku Jambak pada masa itu mengagungkan simbol Harimau Campa dan bendera merah yang kemudian menjadi simbol Luhak Agam karena dominannya pengaruh mereka.
Penduduk Koto Tuo Balai Gurah yang diusir oleh Suku Jambak ini kemudian menyebar ke daerah Kayu Tanam dan Pariaman, yang kemudian menjadi nenek moyang Suku Sikumbang. Menurut hikayat ini, Suku Sikumbang juga merupakan pendatang dari Asia Tengah dan Tiongkok yang pada saat kedatangannya terdiri dari dua gelombang. Yang satu berdiam di Luhak Tanah Datar dan sisanya menempati Luhak Agam. Sama seperti Suku Jambak, Suku Sikumbang juga memiliki simbol, yaitu Harimau Kumbang.
Pada beberapa tambo cerita ini dikaburkan dengan menafsirkan kondisi bumi yang diceritakan diatas (sejuk, panas, lembang) sebagai kondisi sebenarnya, bukan kiasan. Ada juga cerita soal tiga buah jurai (akar pohon) yang menunjuk ke tiga luhak diatas dan cerita soal tiga sumur di puncak Gunung Marapi yang menjadi tempat minum tiga kelompok nenek moyang yang akan membuka daerah Luhak Nan Tigo.
Penduduk Pariangan yang Bermigrasi ke Luhak Agam
Quote:Karena mayoritas Tambo menyatukan pandangan soal asal-usul dari Nagari Pariangan, maka yang dicatat secara resmi adalah perpindahan kaum yang berasal dari Pariangan yaitu rombongan pertama yang mendirikan Nagari Ampek Angkek. Selanjutnya adalah rombongan-rombongan yang mendirikan nagari-nagari Kurai, Banuhampu, Sianok, dan Koto Gadang. Jadi seolah-olah merekalah yang mula-mula membuka nagari tersebut.
Penduduk Pariangan sendiri secara tradisional adalah cikal bakal penduduk Luhak Nan Tuo (Tanah Datar), namun di tempat lain mereka belum tentu yang pertama. Inilah yang secara tidak sengaja tersirat dari episode pencarian tanah baru dalam tambo. Bukti lainnya adalah, Nagari Ampek Angkek ini menganut laras Koto Piliang, sistem yang didukung oleh mayoritas masyarakat Luhak Tanah Datar.
Yang Tersirat dari Kebesaran Luhak Nan Tigo
Luhak Nan Tigo sebagai wilayah inti Minangkabau, memiliki identitas sendiri-sendiri yang menunjukkan asal usulnya. Secara simbolik dilambangkan dengan warna merah, kuning dan hitam. Selain itu oleh simbol hewan kucing, harimau dan kambing yang konon menyimbolkan watak mereka.
Namun ada satu perihal yang lebih menegaskan lagi identitas ini yaitu kebesaran.
Hal-hal diatas tampak menyiratkan asal-usul yang berbeda dari ketiganya. Kita bisa berasumsi bahwa:
Di kemudian hari terlihat bahwa mayoritas nagari-nagari di Luhak Agam dan Luhak Limopuluah ini adalah pendukung Kelarasan Bodi Caniago, sedangkan Luhak Tanah Data adalah pendukung Lareh Koto Piliang (kecuali Solok dan Limokaum Duobaleh Koto). Pada masa Perang Paderi, Agam dan Limopuluah Koto dengan segera bergabung dengan Gerakan Paderi yang berpusat di Bonjol, sedangkan Tanah Data tampak menunjukkan resistensinya.
Suku dalam Tatanan Budaya Masyarakat Minangkabau merupakan basis dari organisasi sosial, sekaligus tempat pertarungan kekuasaan yang fundamental. Pengertian awal kata suku dalam Bahasa Minang dapat bermaksud satu perempat, sehingga jika dikaitkan dengan pendirian suatu nagari di Minangkabau dapat dikatakan sempurna apabila telah terdiri dari komposisi empat suku yang mendiami kawasan tersebut.
Selain sebagai basis politik, suku juga merupakan basis dari unit-unit ekonomi. Kekayaan ditentukan oleh kepemilikan tanah keluarga, harta, dan sumber-sumber pemasukan lainnya yang semuanya itu dikenal sebagai harta pusaka. Harta pusaka merupakan harta milik bersama dari seluruh anggota kaum-keluarga. Harta pusaka tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat menjadi milik pribadi. Harta pusaka semacam dana jaminan bersama untuk melindungi anggota kaum-keluarga dari kemiskinan. Jika ada anggota keluarga yang mengalami kesulitan atau tertimpa musibah, maka harta pusaka dapat digadaikan.
Menurut Tambo alam Minangkabau, pada masa awal pembentukan budaya Minangkabau, hanya ada empat suku induk dari dua kelarasan. Suku-suku tersebut adalah Suku Koto, Suku Piliang, Suku Bodi, dan Suku Caniago. Sedangkan kelarasan yang dimaksud adalah kelarasan koto piliang dan kelarasan bodi caniago, kelarasan disini semacam sistem kekuasaan, dan dalam perkembangannya kelarasan koto piliang cendrung kepada sistem aristokrat sedangkan kelarasan bodi caniago lebih kepada sistem konfederasi.
Suku-suku dalam Minangkabau pada awalnya kemungkinan ditentukan oleh raja Pagaruyung, namun sejak berakhirnya kerajaan Pagaruyung tidak ada lagi muncul suku-suku baru di Minangkabau.
Sedangkan orang Minang di Negeri Sembilan Malaysia membentuk 13 suku baru yang berbeda dengan suku asalnya di Minangkabau.
Berikut daftar suku atau klan yang terdapat dalam Budaya Minangkabau
1. Suku Koto
2. Suku Piliang
3. Suku Bodi
4. Suku Chaniago
5. Suku Piboda
6. Suku Pitopang
7. Suku Tanjuang
8. Suku Sikumbang
9. Suku Guci
10. Suku Panai
11. Suku Jambak
12. Suku Panyalai
13. Suku Kampai
14. Suku Bendang
15. Suku Malayu
16. Suku Kutianyie
17. Suku Mandailiang
18. Suku Sipisang
19. Suku Mandaliko
20. Suku Sumagek
21. Suku Dalimo
22. Suku Simabua
23. Suku Salo
24. Suku Singkuang
25. Suku Rajo Dani
26. Suku Biduanda
27. Suku Batu Hampar (Tompar)
28. Suku Paya Kumbuh (Payo Kumboh)
29. Suku Mungkai
2. Suku Piliang
3. Suku Bodi
4. Suku Chaniago
5. Suku Piboda
6. Suku Pitopang
7. Suku Tanjuang
8. Suku Sikumbang
9. Suku Guci
10. Suku Panai
11. Suku Jambak
12. Suku Panyalai
13. Suku Kampai
14. Suku Bendang
15. Suku Malayu
16. Suku Kutianyie
17. Suku Mandailiang
18. Suku Sipisang
19. Suku Mandaliko
20. Suku Sumagek
21. Suku Dalimo
22. Suku Simabua
23. Suku Salo
24. Suku Singkuang
25. Suku Rajo Dani
26. Suku Biduanda
27. Suku Batu Hampar (Tompar)
28. Suku Paya Kumbuh (Payo Kumboh)
29. Suku Mungkai
Suku Sebagai Representasi Klan Pendatang
Quote:Pada hakikatnya suku pada masa awal terbentuknya adalah representasi dari klan-klan yang membentuk masyarakat Minangkabau. Sebagaimana yang kita ketahui, Minangkabau pada masa awal pembentukan masyarakatnya adalah wilayah yang terbuka untuk didiami pelbagai bangsa sebagai konsekuensi letaknya yang dekat dengan jalur perdagangan internasional. Pantai Barat Sumatera (Barus), Selat Malaka dan daerah aliran sungai-sungai besar seperti Rokan, Siak, Kampar, Inderagiri dan Batanghari adalah pintu masuk utama berbagai bangsa pendatang sejak zaman megalitikum sampai periode berkembangnya kerajaan-kerajaan di Pesisir Timur Sumatera. Kaum pendatang ini segera menghuni kawasan Luhak Nan Tigo yang dalam Tambo disebut sebagai wilayah inti Minangkabau.
Persebaran Kaum Non-Pariangan di Luhak Nan Tigo
Quote:Meskipun tambo-tambo yang beredar dalam berbagai versi itu sepakat bahwa daerah pertama yang dihuni nenek moyang orang Minangkabau adalah Nagari Pariangan yang terletak di lereng sebelah selatan Gunung Marapi, namun ada informasi yang luput dari “teorema penyatuan silsilah” yaitu soal penduduk yang telah terlebih dahulu menghuni Luhak Agam dan Luhak Limopuluah Koto.
Dalam satu episode tambo tentang pencarian tanah hunian baru, ninik yang bertiga (Datuak Katumanggungan, Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Sri Maharajo Nan Banegonego) naik ke puncak Gunung Marapi untuk meninjau lokasi hunian baru yang terletak di sebelah Utara, Barat dan Timur Gunung Marapi. Menurut pandangan mereka tempat-tempat tersebut ternyata sudah ada yang menghuni.
Dalam cerita selanjutnya, ketiga ninik ini menyebutkan:
- Luhak Tanah Datar : buminyo lembang, aianyo tawa, ikannyo banyak (menggambarkan masyarakatnya yang ramai, statusnya tidak merata)
- Luhak Agam : buminyo angek, aianyo karuah, ikannyo lia (menggambarkan masyarakatnya yang berwatak keras, masyarakatnya heterogen, persaingan hidup tajam, orangnya keras hati, suka bermusuh musuhan dan selalu berkelahi pada masing masing kaum)
- Luhak Limopuluah Koto : buminyo sajuak, aianyo janiah, ikannyo jinak (menggambarkan masyarakatnya yang homogen dan penuh kerukunan, memiliki ketenangan dalam berpikir)
Pengamatan ini ternyata sesuai dengan Hikayat Asal Usul Suku Jambak yang menceritakan bahwa ketika mereka masuk ke Luhak Agam yaitu ke daerah Koto Tuo Balai Gurah, mereka menemukan penduduk yang lebih dulu menghuni daerah ini. Suku Jambak berasal dari kaum pengelana (bisa juga pengungsi) yang datang dari Negeri Champa. Champa adalah sebuah negeri yang selalu menjadi target serangan tetangga tetangganya, sehingga menyebabkan emigrasi besar pada setiap serangan-serangan ini. Bahkan kata Jambak ini sangat mungkin adalah perubahan lafal dari Champa. Suku Jambak pada masa itu mengagungkan simbol Harimau Campa dan bendera merah yang kemudian menjadi simbol Luhak Agam karena dominannya pengaruh mereka.
Penduduk Koto Tuo Balai Gurah yang diusir oleh Suku Jambak ini kemudian menyebar ke daerah Kayu Tanam dan Pariaman, yang kemudian menjadi nenek moyang Suku Sikumbang. Menurut hikayat ini, Suku Sikumbang juga merupakan pendatang dari Asia Tengah dan Tiongkok yang pada saat kedatangannya terdiri dari dua gelombang. Yang satu berdiam di Luhak Tanah Datar dan sisanya menempati Luhak Agam. Sama seperti Suku Jambak, Suku Sikumbang juga memiliki simbol, yaitu Harimau Kumbang.
Pada beberapa tambo cerita ini dikaburkan dengan menafsirkan kondisi bumi yang diceritakan diatas (sejuk, panas, lembang) sebagai kondisi sebenarnya, bukan kiasan. Ada juga cerita soal tiga buah jurai (akar pohon) yang menunjuk ke tiga luhak diatas dan cerita soal tiga sumur di puncak Gunung Marapi yang menjadi tempat minum tiga kelompok nenek moyang yang akan membuka daerah Luhak Nan Tigo.
Penduduk Pariangan yang Bermigrasi ke Luhak Agam
Quote:Karena mayoritas Tambo menyatukan pandangan soal asal-usul dari Nagari Pariangan, maka yang dicatat secara resmi adalah perpindahan kaum yang berasal dari Pariangan yaitu rombongan pertama yang mendirikan Nagari Ampek Angkek. Selanjutnya adalah rombongan-rombongan yang mendirikan nagari-nagari Kurai, Banuhampu, Sianok, dan Koto Gadang. Jadi seolah-olah merekalah yang mula-mula membuka nagari tersebut.
Penduduk Pariangan sendiri secara tradisional adalah cikal bakal penduduk Luhak Nan Tuo (Tanah Datar), namun di tempat lain mereka belum tentu yang pertama. Inilah yang secara tidak sengaja tersirat dari episode pencarian tanah baru dalam tambo. Bukti lainnya adalah, Nagari Ampek Angkek ini menganut laras Koto Piliang, sistem yang didukung oleh mayoritas masyarakat Luhak Tanah Datar.
Yang Tersirat dari Kebesaran Luhak Nan Tigo
Luhak Nan Tigo sebagai wilayah inti Minangkabau, memiliki identitas sendiri-sendiri yang menunjukkan asal usulnya. Secara simbolik dilambangkan dengan warna merah, kuning dan hitam. Selain itu oleh simbol hewan kucing, harimau dan kambing yang konon menyimbolkan watak mereka.
Namun ada satu perihal yang lebih menegaskan lagi identitas ini yaitu kebesaran.
- Kebesaran Luhak Tanah Data adalah Sistem Aristokrasi Koto Piliang (Rajo Tigo Selo, Basa Ampek Balai, Langgam Nan Tujuah). Seluruh perangkat pemerintahan Koto Piliang berada di Luhak Tanah Data.
- Kebesaran Luhak Agam adalah Sistem Pertahanan atau Parik Paga. Disini kependekaran dan kepanglimaan lebih dihargai. Terlihat dari militansi mereka dalam lintasan sejarah. Sejak dari Harimau Campa, Tuanku Nan Renceh sampai perjuangan mereka dalam peristiwa PRRI.
- Kebesaran Luhak Limopuluah Koto adalah Sistem Demokrasi atau Musyawarah Para Penghulu. Penghulu yang duduk sehamparan, tagak sepamatang, sederajat dalam posisi.
Hal-hal diatas tampak menyiratkan asal-usul yang berbeda dari ketiganya. Kita bisa berasumsi bahwa:
- Penduduk Luhak Tanah Data pada awalnya di dominasi oleh pendatang asal India Selatan yang beragama Hindu dan berkasta-kasta (buminya lembang).
- Penduduk Luhak Agam seperti diterangkan di atas berasal dari tempat yang beragam (sangat heterogen) sehingga persaingan dan pertahanan adalah sesuatu yang utama dalam kehidupan mereka
- Penduduk Luhak Limopuluah Koto berasal dari India Selatan juga (dan mungkin ada tambahan dari tempat lain), namun menganut agama Buddha Mahayana.
Di kemudian hari terlihat bahwa mayoritas nagari-nagari di Luhak Agam dan Luhak Limopuluah ini adalah pendukung Kelarasan Bodi Caniago, sedangkan Luhak Tanah Data adalah pendukung Lareh Koto Piliang (kecuali Solok dan Limokaum Duobaleh Koto). Pada masa Perang Paderi, Agam dan Limopuluah Koto dengan segera bergabung dengan Gerakan Paderi yang berpusat di Bonjol, sedangkan Tanah Data tampak menunjukkan resistensinya.
Post a Comment