0
musso
Posted by Unknown
on
7:52 PM
in
sejarah kami
Kediri dan Orang Kiri (2)
Tokoh PKI Musso, saat kecil santri yang cerdas
Reporter : Imam Mubarok
Senin, 4 Februari 2013 10:58:39
Tokoh PKI Musso, saat kecil santri yang cerdas
Di tanah ini, dulu adalah rumah Musso saat kecil. ©imam mubarok
28
Tokoh PKI Musso ternyata adalah keturunan pendiri Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Musso adalah anak dari KH Hasan Muhyi yang menikah dengan Nyai Juru.
Putra seorang kiai dan berada di lingkungan pesantren sejak kecil, tentu saja Musso kecil rajin nyantri. Cerita ini disampaikan oleh KH Mohammad Hamdan Ibiq, pengasuh Ponpes Kapurejo, Pagu, Kediri. Menurut Gus Ibiq, sapaan Hamdan Ibiq, Musso selain masih keluarganya, juga pernah nyantri layaknya putra para kiai, penuturan ini berdasarkan cerita dari para leluhurnya.
"Tidak disebutkan jelas di mana dia nyantri, tapi berdasarkan keterangan kakek buyut saya, Musso merupakan anak yang cerdas kala dia nyantri," kata Gus Ibiq kepada merdeka.com.
Hingga sekarang, pihak keluarga meyakini bahwa apa yang dilakukan Musso dengan gerakannya itu lebih pada pilihan politik, bukan ideologis. "Saya kira dia paham agama, apa yang dia lakukan semata untuk melawan Belanda," tambah Gus Ibiq.
Gus Ibiq lantas mengajak merdeka.com ke makam pendiri pesantren, KH Hasan Muhyo dan Nyai Juru. Makam keduanya berada di kompleks Pondok Pesantren Kapurejo. Kompleks makam keluarga yang berjarak 200 meter dari lokasi pesantren induk ke arah belakang. Makam KH Hasan Muhyi berjajar di antara makam keluarga lainnya, sedangkan makam Nyai Juru berada lebih atas dengan nisan batu layaknya nisan orang kuno.
Posisi makam yang berbeda ternyata disebabkan Nyai Juru lebih dahulu meninggal dibandingkan KH Hasan Muhyi. Sebab berdasarkan silsilah keluarga KH Hasan Muhyi menikah sebanyak tiga kali.
Dari makam kedua orangtua Musso, merdeka.com menuju Desa Jagung yang berjarak kurang lebih 4 kilometer dari Ponpes Kapurejo dengan tujuan mencari rumah peninggalan orang tua Musso. Sebuah fakta mengejutkan, rumah di ujung desa tersebut sudah lenyap dan terganti dengan rumah-rumah baru sejak 5 tahun lali. Sebab digambarkan sebelumnya rumah orang tua Musso rumah berbentuk rumah tradisional srotong atau doro gepak yang terbuat dari kayu jati.
Di depan rumah Muso, ada pohon durian yang sangat besar, dan selalu berbuah lebat di setiap musim durian. Selain salah satu orang kaya dan terpandang, Nyai Juru selalu memberi perhatian kepada para tetangganya, salah satunya mengajak bermain ke rumahnya.
"Saya pernah main ke rumah itu saat saya masih kecil, namun saya tidak pernah bertemu Musso, sebab dia memang jarang pulang. Saya pun hanya mendapatkan cerita, Musso sesekali pulang menjenguk ibunya (Nyai Juru) yang sedang sakit. Di saat Muso pulang itu biasanya ada penggerebekan, namun dia selalu lolos, penggerebekan itu lebih karena karena ketokohannya," kata Nur Hasan (85) salah seorang warga di Desa Jagung.
Gambaran perjalanan Muso akhirnya diteruskan kepada sumber organik yang lain yakni Ustaz Nurudin (85) warga Dusun Santren Desa Jagung Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri. Menurutnya, KH Hasan Muhyi dulu juga sempat membuat pesantren di wilayah Dusun Santren, Desa Jagung, Kecamatan Pagu.
"Pesantrennya hanya berbentuk langgar angkringan (mushala bambu) tepatnya tahun berapa saya ndak paham, cuman bapak saya bilang tahun 1926 sudah ada. Saat membangun pesantren itu, KH Hasan Muhyi didampingi beberapa temanya sesama pelarian pasukan Diponegoro, yakni Ki Martojo, Ki Sanan Kemat, Mbah Awi, dan Mbah Mantari," kata Ustaz Nuruddin.
Dan pada tahun 1954, KH Hasan Muhyi memindah pesantrennya ke Kapurejo, Pagu, setelah sebelumnya mendapatkan wisik bahwa pesantren yang dibangunnya tersebut akan terkena lahar Gunung Kelud. Pemindahan akhirnya kejadian pada tahun 1964 atau tepat sepuluh tahun setelah mendapatkan petunjuk.
"Karena semua terlalap lahar dingin Gunung Kelud, akhirnya mushala itu dibangun permanen pada tahun yang sama dan pada perkembangannya sekitar tahun 1980 an mushala itu dibangun menjadi masjid hingga saat ini," kata Nurudin.
[tts]
http://www.merdeka.com/peristiwa/tok...ng-kiri-2.html
Kediri dan Orang Kiri (3)
Tak banyak pilihan politik bagi Musso
Reporter : Imam Mubarok
Senin, 4 Februari 2013 18:50:58
Tak banyak pilihan politik bagi Musso
Makam orangtua Musso yang merupakan ulama terkenal. ©imam mubarok
43
Apa yang menyebabkan Musso beraliran kiri, padahal dia merupakan putra kiai? Banyak kalangan meyakini pilihan Musso adalah pilihan politik, bukan ideologi murni. Rasa ingin merdeka dari penjajahan yang didukung oleh pergaulannya yang menyebabkan dia berubah.
Penelusuran merdeka.com mengungkap cerita lain, bahwa Musso ternyata putra seorang kiai besar di daerah Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Kiai besar itu adalah KH Hasan Muhyi alias Rono Wijoyo, seorang pelarian pasukan Diponegoro.
Putra seorang kiai dan berada di lingkungan pesantren sejak kecil, tentu saja Musso kecil rajin nyantri.
Menurut Elia Krisanto, pengamat sejarah asal Kediri, untuk melawan penjajah perlu adanya kekuatan politik yang tersentral. "Yang perlu diingat bahwa pada saat itu tak banyak pilihan berpolitik khususnya untuk melawan penjajah," kata Elia yang juga Relawan Perjuangan Demokrasi pada www.merdeka.com.
Lingkungan sangat memengaruhi kenapa kemudian Musso berubah dari 'cetakan awalnya' yang notabene dididik di kalangan santri. "Dogma tentang pemberontakan di era tahun 1950 ke bawah itulah yang berbeda dengan 'pemberontakan' di era Orde Baru, yang selalu dicap salah tanpa melihat sisi sejarahnya," tambahnya.
Edi Musaddad, pengamat sejarah asal Salatiga yang tinggal di Jombang juga memberikan pandangannya soal Musso. Menurutnya dari berbagai sumber sejarah Musso merupakan salah satu pemimpin PKI di awal 1920-an. Dia adalah pengikut Stalin dan anggota dari Internasional Komunis di Moskow.
"Pada bulan November 1926 terjadi beberapa pemberontakan PKI di beberapa kota termasuk Batavia (sekarang Jakarta), tetapi pemberontakan itu dapat dipatahkan oleh penjajah Belanda. Di mana saat terjadi pemberontakan Musso dan Alimin tidak berada di Indonesia keduanya sedang melakukan pembicaraan dengan Tan Malaka yang memang tidak setuju dengan langkah keduanya, akhirnya keduanya ditangkap di Singapura oleh intelijen Inggris," kata Edi Musaddad.
Masih menurut Edi, Musso memang menjalin hubungan yang cukup baik dengan Stalin termasuk soal Indonesia yang bukan basis buruh yang menerapkan paham feodal -industri sebagai kebijakan komunis.
"Indonesia basisnya petani, inilah yang sudah diprediksi oleh Tan Malaka bahwa gerakan yang dilakukan Musso nanti akan gagal," tambahnya.
Masih menurut Edi, pasca keluar dari penjara, Musso pergi ke Moskow. Dia sempat kembali ke Indonesia sekitar tahun 1935 dan dipaksa kembali ke Uni Soviet setelah gagal memaksa 7 anggota Kongres Komintern sekitar tahun 1936. Selanjutnya Musso tinggal di Moskow.
Gerakan Musso tak sampai disitu. 11 Agustus 1948 Musso kembali ke Indonesia lewat Yogyakarta, dan pada 5 September 1948 dia memberikan pidato anjuran agar Indonesia merapat kepada Uni Soviet. Dan anjuran itu berujung pada peristiwa pemberontakan PKI di Madiun, Jawa Timur .
"Saat terjadi pemberontakan itu Musso sebenarnya dia tidak berada di lokasi, sebab dia sedang kampanye keliling di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur. Militer menyebut PKI memproklamirkan "Republik Soviet Indonesia" dan pada 18 September 1948 dengan menyebut Musso sebagai presiden dan Amir Syarifuddin sebagai perdana menteri. Dan rencana pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh militer," imbuhnya.
Pada tanggal 30 September 1948, Madiun direbut oleh TNI dari Divisi Siliwangi. Ribuan kader partai terbunuh dan sejumlah 36.000 orang dipenjarakan. Di antara yang terbunuh adalah Musso pada tanggal 31 Oktober 1948 saat ia berusaha melarikan diri dan tertangkap di Desa Niten Kecamatan Sumorejo, Ponorogo.
"Riak revolusi untuk kemerdekaan banyak dilakukan oleh bangsa Indonesia karena penjajajahan Belanda yang cukup lama. Bahkan para tokoh-tokoh nasioanal seperti Soekarno juga pada awalnya berteman akrab dengan Musso, Alimin, Semaun dan Kartosuwiryo," Ujar Edi.
Bahkan mereka pernah satu kos di Surabaya, ungkap Edi. "Mereka pernah kos Surabaya di rumah keluarga HOS Cokroaminoto, guru sekaligus bapak kosnya. Musso sendiri saat kos di rumah Cokroaminoto sebagai aktivis Sarekat Islam dia juga aktif di ISDV (Indische Sociaal Democratishce Vereeniging atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Karena keilmuan Musso, Soekarno menganggap dia adalah salah satu gurunya," lanjutnya.
Pasca perpisahan di Surabaya, menurut Edi- para tokoh-tokoh ini melanjutkan perjuangannya masing-masing.
"Itulah dinamika politik yang terjadi di Indonesia, inilah perjalanan panjang Bangsa Indonesia. Jika dipelajari mereka memiliki tujuan yang sama yakni memiliki keinginan lepas dari penjajahan mereka selalu tegas memilih prinsip politik, kalah atau menang tak masalah," pungkasnya.
[tts]
http://www.merdeka.com/peristiwa/tak...ng-kiri-3.html
Tokoh PKI Musso, saat kecil santri yang cerdas
Reporter : Imam Mubarok
Senin, 4 Februari 2013 10:58:39
Tokoh PKI Musso, saat kecil santri yang cerdas
Di tanah ini, dulu adalah rumah Musso saat kecil. ©imam mubarok
28
Tokoh PKI Musso ternyata adalah keturunan pendiri Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Musso adalah anak dari KH Hasan Muhyi yang menikah dengan Nyai Juru.
Putra seorang kiai dan berada di lingkungan pesantren sejak kecil, tentu saja Musso kecil rajin nyantri. Cerita ini disampaikan oleh KH Mohammad Hamdan Ibiq, pengasuh Ponpes Kapurejo, Pagu, Kediri. Menurut Gus Ibiq, sapaan Hamdan Ibiq, Musso selain masih keluarganya, juga pernah nyantri layaknya putra para kiai, penuturan ini berdasarkan cerita dari para leluhurnya.
"Tidak disebutkan jelas di mana dia nyantri, tapi berdasarkan keterangan kakek buyut saya, Musso merupakan anak yang cerdas kala dia nyantri," kata Gus Ibiq kepada merdeka.com.
Hingga sekarang, pihak keluarga meyakini bahwa apa yang dilakukan Musso dengan gerakannya itu lebih pada pilihan politik, bukan ideologis. "Saya kira dia paham agama, apa yang dia lakukan semata untuk melawan Belanda," tambah Gus Ibiq.
Gus Ibiq lantas mengajak merdeka.com ke makam pendiri pesantren, KH Hasan Muhyo dan Nyai Juru. Makam keduanya berada di kompleks Pondok Pesantren Kapurejo. Kompleks makam keluarga yang berjarak 200 meter dari lokasi pesantren induk ke arah belakang. Makam KH Hasan Muhyi berjajar di antara makam keluarga lainnya, sedangkan makam Nyai Juru berada lebih atas dengan nisan batu layaknya nisan orang kuno.
Posisi makam yang berbeda ternyata disebabkan Nyai Juru lebih dahulu meninggal dibandingkan KH Hasan Muhyi. Sebab berdasarkan silsilah keluarga KH Hasan Muhyi menikah sebanyak tiga kali.
Dari makam kedua orangtua Musso, merdeka.com menuju Desa Jagung yang berjarak kurang lebih 4 kilometer dari Ponpes Kapurejo dengan tujuan mencari rumah peninggalan orang tua Musso. Sebuah fakta mengejutkan, rumah di ujung desa tersebut sudah lenyap dan terganti dengan rumah-rumah baru sejak 5 tahun lali. Sebab digambarkan sebelumnya rumah orang tua Musso rumah berbentuk rumah tradisional srotong atau doro gepak yang terbuat dari kayu jati.
Di depan rumah Muso, ada pohon durian yang sangat besar, dan selalu berbuah lebat di setiap musim durian. Selain salah satu orang kaya dan terpandang, Nyai Juru selalu memberi perhatian kepada para tetangganya, salah satunya mengajak bermain ke rumahnya.
"Saya pernah main ke rumah itu saat saya masih kecil, namun saya tidak pernah bertemu Musso, sebab dia memang jarang pulang. Saya pun hanya mendapatkan cerita, Musso sesekali pulang menjenguk ibunya (Nyai Juru) yang sedang sakit. Di saat Muso pulang itu biasanya ada penggerebekan, namun dia selalu lolos, penggerebekan itu lebih karena karena ketokohannya," kata Nur Hasan (85) salah seorang warga di Desa Jagung.
Gambaran perjalanan Muso akhirnya diteruskan kepada sumber organik yang lain yakni Ustaz Nurudin (85) warga Dusun Santren Desa Jagung Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri. Menurutnya, KH Hasan Muhyi dulu juga sempat membuat pesantren di wilayah Dusun Santren, Desa Jagung, Kecamatan Pagu.
"Pesantrennya hanya berbentuk langgar angkringan (mushala bambu) tepatnya tahun berapa saya ndak paham, cuman bapak saya bilang tahun 1926 sudah ada. Saat membangun pesantren itu, KH Hasan Muhyi didampingi beberapa temanya sesama pelarian pasukan Diponegoro, yakni Ki Martojo, Ki Sanan Kemat, Mbah Awi, dan Mbah Mantari," kata Ustaz Nuruddin.
Dan pada tahun 1954, KH Hasan Muhyi memindah pesantrennya ke Kapurejo, Pagu, setelah sebelumnya mendapatkan wisik bahwa pesantren yang dibangunnya tersebut akan terkena lahar Gunung Kelud. Pemindahan akhirnya kejadian pada tahun 1964 atau tepat sepuluh tahun setelah mendapatkan petunjuk.
"Karena semua terlalap lahar dingin Gunung Kelud, akhirnya mushala itu dibangun permanen pada tahun yang sama dan pada perkembangannya sekitar tahun 1980 an mushala itu dibangun menjadi masjid hingga saat ini," kata Nurudin.
[tts]
http://www.merdeka.com/peristiwa/tok...ng-kiri-2.html
Kediri dan Orang Kiri (3)
Tak banyak pilihan politik bagi Musso
Reporter : Imam Mubarok
Senin, 4 Februari 2013 18:50:58
Tak banyak pilihan politik bagi Musso
Makam orangtua Musso yang merupakan ulama terkenal. ©imam mubarok
43
Apa yang menyebabkan Musso beraliran kiri, padahal dia merupakan putra kiai? Banyak kalangan meyakini pilihan Musso adalah pilihan politik, bukan ideologi murni. Rasa ingin merdeka dari penjajahan yang didukung oleh pergaulannya yang menyebabkan dia berubah.
Penelusuran merdeka.com mengungkap cerita lain, bahwa Musso ternyata putra seorang kiai besar di daerah Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Kiai besar itu adalah KH Hasan Muhyi alias Rono Wijoyo, seorang pelarian pasukan Diponegoro.
Putra seorang kiai dan berada di lingkungan pesantren sejak kecil, tentu saja Musso kecil rajin nyantri.
Menurut Elia Krisanto, pengamat sejarah asal Kediri, untuk melawan penjajah perlu adanya kekuatan politik yang tersentral. "Yang perlu diingat bahwa pada saat itu tak banyak pilihan berpolitik khususnya untuk melawan penjajah," kata Elia yang juga Relawan Perjuangan Demokrasi pada www.merdeka.com.
Lingkungan sangat memengaruhi kenapa kemudian Musso berubah dari 'cetakan awalnya' yang notabene dididik di kalangan santri. "Dogma tentang pemberontakan di era tahun 1950 ke bawah itulah yang berbeda dengan 'pemberontakan' di era Orde Baru, yang selalu dicap salah tanpa melihat sisi sejarahnya," tambahnya.
Edi Musaddad, pengamat sejarah asal Salatiga yang tinggal di Jombang juga memberikan pandangannya soal Musso. Menurutnya dari berbagai sumber sejarah Musso merupakan salah satu pemimpin PKI di awal 1920-an. Dia adalah pengikut Stalin dan anggota dari Internasional Komunis di Moskow.
"Pada bulan November 1926 terjadi beberapa pemberontakan PKI di beberapa kota termasuk Batavia (sekarang Jakarta), tetapi pemberontakan itu dapat dipatahkan oleh penjajah Belanda. Di mana saat terjadi pemberontakan Musso dan Alimin tidak berada di Indonesia keduanya sedang melakukan pembicaraan dengan Tan Malaka yang memang tidak setuju dengan langkah keduanya, akhirnya keduanya ditangkap di Singapura oleh intelijen Inggris," kata Edi Musaddad.
Masih menurut Edi, Musso memang menjalin hubungan yang cukup baik dengan Stalin termasuk soal Indonesia yang bukan basis buruh yang menerapkan paham feodal -industri sebagai kebijakan komunis.
"Indonesia basisnya petani, inilah yang sudah diprediksi oleh Tan Malaka bahwa gerakan yang dilakukan Musso nanti akan gagal," tambahnya.
Masih menurut Edi, pasca keluar dari penjara, Musso pergi ke Moskow. Dia sempat kembali ke Indonesia sekitar tahun 1935 dan dipaksa kembali ke Uni Soviet setelah gagal memaksa 7 anggota Kongres Komintern sekitar tahun 1936. Selanjutnya Musso tinggal di Moskow.
Gerakan Musso tak sampai disitu. 11 Agustus 1948 Musso kembali ke Indonesia lewat Yogyakarta, dan pada 5 September 1948 dia memberikan pidato anjuran agar Indonesia merapat kepada Uni Soviet. Dan anjuran itu berujung pada peristiwa pemberontakan PKI di Madiun, Jawa Timur .
"Saat terjadi pemberontakan itu Musso sebenarnya dia tidak berada di lokasi, sebab dia sedang kampanye keliling di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur. Militer menyebut PKI memproklamirkan "Republik Soviet Indonesia" dan pada 18 September 1948 dengan menyebut Musso sebagai presiden dan Amir Syarifuddin sebagai perdana menteri. Dan rencana pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh militer," imbuhnya.
Pada tanggal 30 September 1948, Madiun direbut oleh TNI dari Divisi Siliwangi. Ribuan kader partai terbunuh dan sejumlah 36.000 orang dipenjarakan. Di antara yang terbunuh adalah Musso pada tanggal 31 Oktober 1948 saat ia berusaha melarikan diri dan tertangkap di Desa Niten Kecamatan Sumorejo, Ponorogo.
"Riak revolusi untuk kemerdekaan banyak dilakukan oleh bangsa Indonesia karena penjajajahan Belanda yang cukup lama. Bahkan para tokoh-tokoh nasioanal seperti Soekarno juga pada awalnya berteman akrab dengan Musso, Alimin, Semaun dan Kartosuwiryo," Ujar Edi.
Bahkan mereka pernah satu kos di Surabaya, ungkap Edi. "Mereka pernah kos Surabaya di rumah keluarga HOS Cokroaminoto, guru sekaligus bapak kosnya. Musso sendiri saat kos di rumah Cokroaminoto sebagai aktivis Sarekat Islam dia juga aktif di ISDV (Indische Sociaal Democratishce Vereeniging atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Karena keilmuan Musso, Soekarno menganggap dia adalah salah satu gurunya," lanjutnya.
Pasca perpisahan di Surabaya, menurut Edi- para tokoh-tokoh ini melanjutkan perjuangannya masing-masing.
"Itulah dinamika politik yang terjadi di Indonesia, inilah perjalanan panjang Bangsa Indonesia. Jika dipelajari mereka memiliki tujuan yang sama yakni memiliki keinginan lepas dari penjajahan mereka selalu tegas memilih prinsip politik, kalah atau menang tak masalah," pungkasnya.
[tts]
http://www.merdeka.com/peristiwa/tak...ng-kiri-3.html
Post a Comment