0

Tragedi 1965 dan lembaga super bernama Kopkamtib

Posted by Unknown on 8:24 PM in

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan telah terjadi dugaan pelanggaran HAM berat dalam tragedi 1965. Diduga telah terjadi sembilan kejahatan kemanusiaan yaitu pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa.
Komnas HAM memperkirakan tragedi ini memakan korban jiwa hingga tiga juta orang. Komnas HAM juga membuat kesimpulan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), adalah lembaga yang paling bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat tersebut.

"Setelah melakukan penyelidikan atas temuan, analisis, dan pertemuan dengan para korban, kami menemukan bukti awal adanya kejahatan terhadap kemanusiaan pada tahun 1965 seperti pembunuhan, pemerkosaan, pengusiran secara paksa, penghilangan orang dan lainnya," kata Ketua tim penyelidik kasus 65, Nur Cholis saat jumpa pers di Komnas HAM, Senin (23/7).

Namun temuan dari Komnas HAM tersebut belum ditanggapi Kejaksaan Agung yang bertugas membuat penyidikan dari hasil temuan Komnas HAM. Sama seperti kebanyakan kasus pelanggaran HAM lain, tragedi 1965 pun ditakutkan akan mangkrak tanpa penyelesaian. Seperti luka yang tidak pernah disembuhkan dan hanya ditutupi.

Kopkamtib berdiri 3 Oktober 1965, setelah G30S/PKI meletus. Pendirian Kopkamtib dilandasi keadaan negara yang sangat itu kacau dan genting. Mayjen Soeharto menjadi Panglima Kopkamtib pertama.

Kedudukannya menjadi lebih kuat setelah Presiden Soekarno memberikan perintah lewat Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966.

Itulah legalitas bagi Soeharto untuk melakukan pembersihan pada orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka yang dianggap simpatisan atau hanya mendukung pun diciduk. Dengan dasar itu pula Soeharto membubarkan PKI dan seluruh organisasi di bawahnya.

Tahun 1965-1970, pembantaian massal terjadi di mana-mana. Tentara, atau ormas yang dibekingi tentara mencari orang-orang komunis. Sebagian ditangkap, sebagian lagi dibantai dengan kejam. Banyak yang menyaksikan kekejaman saat itu sudah tidak masuk akal. Orang-orang dibunuh dengan cara digorok, dipotong-potong atau dipukul pada bagian kepala hingga tewas. Sementara wanita-wanita yang dituduh PKI diperkosa dan mengalami kekerasan seksual.

Setelah berkuasa sebagai presiden, Soeharto tetap mempertahankan Kopkamtib. Banyak pihak yang menyebut jantung orde baru adalah Kopkamtib. Lembaga ini adalah lembaga superpower, tidak bertanggung jawab pada lembaga apapun kecuali Panglima ABRI dan Presiden Soeharto. Sebagaimana diketahui saat itu

Presiden Soeharto lah yang mengontrol ABRI. Soeharto pun bisa langsung memberi perintah pada Pangkopkamtib.

Lembaga ini punya wewenang menangkap, memata-matai, menginterograsi orang yang dicurigai melawan pemerintah. Jika Kopkamtib sudah turun, maka tidak ada lembaga lain yang bisa mencegah. Termasuk Polri dan ABRI. Masih ingat kasus perkosaan Sum Kuning?Kopkamtib mengambil alih penyidikan kasus ini dari kepolisian dan Kapolri Jenderal Hoegeng saat itu tidak bisa berbuat apa-apa.

Pangkopkamtib selalu dijabat orang dekat Soeharto. Mereka adalah Jenderal Maraden Panggabean (1969- 1973), Jenderal Soemitro (1973-1974), Kemudian Laksamana Soedomo yang menjabat pelaksana tugas tahun 1974-1978. Soedomo kemudian menjadi Pangkopkamtib tahun 1978 hingga 1983.
Pangkopkamtib terakhir adalah Jenderal Benny Moerdani (1983-1988). Pangkopkamtib kemudian dibubarkan dan diganti dengan Bakorstanas.

Bakorstanas atau Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional, berbeda dengan Kopkamtib. Tidak seperti Kopkamtib, Bakorstanas hanya mengkoordinasikan lembaga kemanan seperti Polri, BIN, ABRI dan lainnya. Bakorstanas tak punya fungsi komando.

Menurut Benny Moerdani, setelah 23 tahun berdiri, keberadaan Kopkamtib tak lagi dibutuhkan. Keadaan sudah banyak berubah sejak tahun 1965. Masyarakat pun sadar untuk tidak bertentangan pendapat.

Tapi dihapuskannya Kopkamtib bukan berarti rekonsiliasi dan pengusutan kasus pelanggaran HAM bisa terwujud. Kini 2012, 47 tahun setelah peristiwa berdarah itu, kabut masih menyelimuti tragedi 1965. Sama seperti bisikan seorang sumber di Komnas HAM.

"Masih ada yang tidak suka jika kasus ini diungkit-ungkit lagi. Sebagian besar menginginkan biarlah dikubur saja. Ada tekanan-tekanan politik juga," ujarnya kepada merdeka.com beberapa waktu lalu.

Maka apakah kematian jutaan orang hanya akan dianggap sebagai takdir? Atau bagian dari gelapnya sejarah Indonesia?



0 Comments

Post a Comment

Copyright © 2009 dunia kita-kita All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.