0
Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo
Posted by Unknown
on
9:24 PM
in
sejarah kami
Imam Pemberontak dari Malangbong part 2
Konon ada pula kepercayaan mistis di kalangan masyarakat Jawa Barat bahwa Kartosoewirjo akan bisa menjadi Ratu Adil dan selalu menang perang jika bisa menyatukan dua senjata pusaka: keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang. Kedua pusaka itu memang selalu dibawanya ketika bergerilya di hutan.
Menyimak profil Kartosoewirjo itu, tak aneh bila ahli politik Islam, Bahtiar Effendy, menilai dia sesungguhnya tak memiliki landasan ideologi yang kuat untuk mendirikan Negara Islam. Bahtiar-dan beberapa ahli politik Islam lain-lebih merujuk pada kekecewaan Kartosoewirjo terhadap Perjanjian Renville, yang dianggapnya merugikan kepentingan umat Islam, untuk memberontak dari "pemerintahan kafir" Soekarno.
Toh, pemberontakan Kartosoewirjo di Jawa Barat bersama Daud Beureueh di Aceh dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan telah ikut mewarnai sejarah pembentukan Republik yang masih berusia muda. Puluhan tahun setelah ketiga tokoh itu wafat, semangat mendirikan Negara Islam terbukti tak kunjung padam di kalangan sebagian umat Islam. Kaderisasi di antara mereka pun sepertinya tak pernah terputus.
Pengusung cita-cita Negara Islam itu boleh saja terpecah-belah karena alasan ideologi atau kepentingan pribadi pemimpinnya. Ada yang memilih mengembangkan pendidikan, berjuang dengan program advokasi, ada pula yang tetap menghalalkan jalan kekerasan. Kelompok lain diyakini menjadi cikal bakal Jamaah Islamiah. Namun semuanya tetap mengaku penerus cita-cita Kartosoewirjo.
UNTUK mengumpulkan bahan penulisan edisi khusus Kartosoewirjo ini, kami mengundang beberapa ilmuwan, peneliti, dan saksi sejarah dalam beberapa sesi diskusi di kantor redaksi Tempo. Ahli politik Islam, Bahtiar Effendy, dan Solahudin, seorang peneliti Darul Islam, memberikan banyak perspektif tentang tokoh karismatis ini. Mereka juga memberikan rujukan sejumlah literatur mengenai Kartosoewirjo dan gerakan Darul Islam, dari karya klasik sampai kontemporer.
Sardjono, putra bungsu Kartosoewirjo, menceritakan pergulatan keluarganya yang dianggap sebagai gembong pemberontak. Memang, setelah ayahnya dieksekusi, giliran dua kakak kandungnya, Dodo Muhammad Darda dan Tahmid Rahmat Basuki, tampil menjadi tokoh baru Darul Islam.
Riwayat Sardjono sendiri cukup unik. Dia lahir di hutan, di medan gerilya ayah dan ibunya. Usianya baru lima tahun ketika Kartosoewirjo tertangkap dan seluruh keluarganya memutuskan menyerah dan keluar dari hutan. Dengan ingatan kanak-kanak yang terbatas, dia membantu merekonstruksi apa yang terjadi di hutan, di saat-saat terakhir perlawanan sang Imam dan pengikutnya.
Kami juga mengundang Sofwan, bekas juru warta Ma'had Al-Zaytun, yang dikenal sebagai pesantren milik bekas pengikut Negara Islam Indonesia. Mantan tangan kanan Abdussalam Toto alias Panji Gumilang ini mengaku sudah keluar "secara baik-baik" dari Al-Zaytun. Diskusi yang berlangsung seru dan kadang diselingi gelak tawa itu selalu diawali makan siang atau makan malam ala Tempo.
Melengkapi tulisan, kami melakukan napak tilas ke sejumlah tempat bersejarah. Sardjono menemani dan menunjukkan lokasi-lokasi tempat Kartosoewirjo dan anak buahnya pernah bergerilya selama 13 tahun di hutan dan gunung sekitar Garut dan Tasikmalaya, Jawa Barat.
Bersama Sardjono pula kami pergi ke Pulau Onrust di Teluk Jakarta. Di sana ada sebuah makam yang diyakininya sebagai kubur ayahnya. Selama ini sejumlah literatur dan saksi sejarah hanya bercerita bahwa Kartosoewirjo dieksekusi dengan ditembak mati di sekitar Teluk Jakarta. Namun tak diketahui di mana jenazah sang Imam dikebumikan.
Konon ada pula kepercayaan mistis di kalangan masyarakat Jawa Barat bahwa Kartosoewirjo akan bisa menjadi Ratu Adil dan selalu menang perang jika bisa menyatukan dua senjata pusaka: keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang. Kedua pusaka itu memang selalu dibawanya ketika bergerilya di hutan.
Menyimak profil Kartosoewirjo itu, tak aneh bila ahli politik Islam, Bahtiar Effendy, menilai dia sesungguhnya tak memiliki landasan ideologi yang kuat untuk mendirikan Negara Islam. Bahtiar-dan beberapa ahli politik Islam lain-lebih merujuk pada kekecewaan Kartosoewirjo terhadap Perjanjian Renville, yang dianggapnya merugikan kepentingan umat Islam, untuk memberontak dari "pemerintahan kafir" Soekarno.
Toh, pemberontakan Kartosoewirjo di Jawa Barat bersama Daud Beureueh di Aceh dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan telah ikut mewarnai sejarah pembentukan Republik yang masih berusia muda. Puluhan tahun setelah ketiga tokoh itu wafat, semangat mendirikan Negara Islam terbukti tak kunjung padam di kalangan sebagian umat Islam. Kaderisasi di antara mereka pun sepertinya tak pernah terputus.
Pengusung cita-cita Negara Islam itu boleh saja terpecah-belah karena alasan ideologi atau kepentingan pribadi pemimpinnya. Ada yang memilih mengembangkan pendidikan, berjuang dengan program advokasi, ada pula yang tetap menghalalkan jalan kekerasan. Kelompok lain diyakini menjadi cikal bakal Jamaah Islamiah. Namun semuanya tetap mengaku penerus cita-cita Kartosoewirjo.
UNTUK mengumpulkan bahan penulisan edisi khusus Kartosoewirjo ini, kami mengundang beberapa ilmuwan, peneliti, dan saksi sejarah dalam beberapa sesi diskusi di kantor redaksi Tempo. Ahli politik Islam, Bahtiar Effendy, dan Solahudin, seorang peneliti Darul Islam, memberikan banyak perspektif tentang tokoh karismatis ini. Mereka juga memberikan rujukan sejumlah literatur mengenai Kartosoewirjo dan gerakan Darul Islam, dari karya klasik sampai kontemporer.
Sardjono, putra bungsu Kartosoewirjo, menceritakan pergulatan keluarganya yang dianggap sebagai gembong pemberontak. Memang, setelah ayahnya dieksekusi, giliran dua kakak kandungnya, Dodo Muhammad Darda dan Tahmid Rahmat Basuki, tampil menjadi tokoh baru Darul Islam.
Riwayat Sardjono sendiri cukup unik. Dia lahir di hutan, di medan gerilya ayah dan ibunya. Usianya baru lima tahun ketika Kartosoewirjo tertangkap dan seluruh keluarganya memutuskan menyerah dan keluar dari hutan. Dengan ingatan kanak-kanak yang terbatas, dia membantu merekonstruksi apa yang terjadi di hutan, di saat-saat terakhir perlawanan sang Imam dan pengikutnya.
Kami juga mengundang Sofwan, bekas juru warta Ma'had Al-Zaytun, yang dikenal sebagai pesantren milik bekas pengikut Negara Islam Indonesia. Mantan tangan kanan Abdussalam Toto alias Panji Gumilang ini mengaku sudah keluar "secara baik-baik" dari Al-Zaytun. Diskusi yang berlangsung seru dan kadang diselingi gelak tawa itu selalu diawali makan siang atau makan malam ala Tempo.
Melengkapi tulisan, kami melakukan napak tilas ke sejumlah tempat bersejarah. Sardjono menemani dan menunjukkan lokasi-lokasi tempat Kartosoewirjo dan anak buahnya pernah bergerilya selama 13 tahun di hutan dan gunung sekitar Garut dan Tasikmalaya, Jawa Barat.
Bersama Sardjono pula kami pergi ke Pulau Onrust di Teluk Jakarta. Di sana ada sebuah makam yang diyakininya sebagai kubur ayahnya. Selama ini sejumlah literatur dan saksi sejarah hanya bercerita bahwa Kartosoewirjo dieksekusi dengan ditembak mati di sekitar Teluk Jakarta. Namun tak diketahui di mana jenazah sang Imam dikebumikan.
Post a Comment