0

HISTORIOGRAFI INDONESIA

Posted by Unknown on 8:17 AM in

 
HISTORIOGRAFI INDONESIA
Historiografi Indonesia-
metode historis sebagai metode penulisan sejarah meliputi empat langkah, yakni heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Langkah keempat, yakni historiografi merupakan wujud atau hasil karya dengan metode sejarah.Dalam materi Historiografi Indonesia kali ini akan dibahas tentang perkembangan historiografi (penulisan sejarah) di Indonesia.



Historiografi Indonesia
Karya sejarah Indonesia baik dari masa lampau sampai masa sekarang (dikenal dengan nama sejarah kontemporer) telah banyak ditulis; baik oleh sejarawan atau pemerhati sejarah bangsa kita sendiri; maupun bangsa asing. Dari berbagai penulisan sejarah Indonesia (historiografi Indonesia) dari berbagai zaman/masa baik ditulis oleh bangsa maupun bahasa asing; maka penulisan sejarah Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni (a) historiografi tradisional, (b) historiografi kolonial, dan (c) historiografi nasional.
HISTORIOGRAFI TRADISIONAL
a. Penulisan sejarah tradisional (historiografi tradisional)
            Penulisan sejarah tradisional adalah penulisan sejarah yang dimulai dari zaman Hindu sampai masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Penulisan sejarah pada jaman ini berpusat pada masalah-masalah pemerintahan dari raja-raja yang berkuasa, bersifat istanasentris yang mengutamakan keinginan dan kepentingan raja. Penulisan sejarah di zaman Hindu-Buddha pada umumnya ditulis di prasasti dengan tujuan agar generasi penerus dapat mengetahui peristiwa di zaman kerajaan pada masa dulu di mana seorang raja memerintah.
Dalam historiografi  tradisional terjalinlah dengan erat unsur-unsur sastra, sebagai  karya imajinatif dan mitologi, sebagai pandangan hidup yang  dikisahkan sebagai uraian peristiwa pada masa lampau, seperti tercermin dalam babad atau hikayat. Contoh-contoh historiografi tradisional di antaranya ialah : sejarah Melayu, hikayat raja-raja Pasai, hikayat Aceh, Babad Tanah Jawi, Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Kartasura dan masih banyak lagi.
Adapun ciri-ciri dari historiografi tradisonal adalah sebagai berikut.
1) Religio sentris, artinya segala sesuatu dipusatkan pada raja atau keluarga raja (keluarga istana), maka sering juga disebut istana sentris atau keluarga sentris atau dinasti sentris.
2) Bersifat feodalistis-aristokratis, artinya yang dibicarakan hanyalah kehidupan kaum bangsawan feodal, tidak ada sifat kerakyatannya. Historiografi tersebut tidak memuat riwayat kehidupan rakyat, tidak membicarakan segi-segi sosial dan ekonomi dari kehidupan rakyat.
3) Religio magis, artinya dihubungkan dengan kepercayaan dan hal-hal yang gaib.
4) Tidak begitu membedakan hal-hal yang khayal dan hal-hal yang nyata.
5) Tujuan penulisan sejarah tradisional untuk menghormati dan meninggikan kedudukan raja, dan nama raja, serta wibawa raja; agar supaya raja tetap dihormati, tetap dipatuhi, tetap dijunjung tinggi. Oleh karena itu banyak mitos, bahwa raja sangat sakti, raja sebagai penjelmaan/titisan dewa, apa yang dikatakan raja serba benar, sehingga ada ungkapan "sadba pandita ratu datan kena wowawali" (apa yang diucapkan raja tidak boleh berubah, sebab raja segalanya). Dalam konsep kepercayaan Hindu bahwa raja adalah "mandataris dewa", sehingga segala ucapan dan tindakannya adalah benar.
6) Bersifat regio-sentris (kedaerahan), maka historiografi tradisional banyak dipengaruhi daerah, misalnya oleh cerita-cerita gaib atau cerita-cerita dewa di daerah tersebut.
7) Raja atau pemimpin dianggap mempunyai kekuatan gaib dan kharisma (bertuah, sakti). 


HISTORIOGRAFI KOLONIAL

Historiografi kolonial merupakan penulisan sejarah yang membahas masalah penjajahan Belanda atas bangsa Indonesia oleh Belanda. Penulisan tersebut dilakukan oleh orang-orang Belanda dan banyak di antara penulis-penulisnya yang tidak pernah melihat Indonesia. Sumber-sumber yang dipergunakan ialah dari arsip negara di negeri Belanda dan di Jakarta (Batavia); pada umumnya tidak menggunakan atau mengabaikan sumber-sumber Indonesia. Sesuai dengan namanya yaitu historiografi kolonial, maka sebenarnya kuranglah tepat bila disebut penulisan sejarah Indonesia. Lebih tepat disebut sejarah bangsa Belanda di Hindia Belanda (Indonesia). Mengapa demikian? Hal ini tidaklah mengherankan, sebab fokus pembicaraan adalah bangsa Belanda, bukanlah kehidupan rakyat atau kiprah bangsa Indonesia di masa penjajahan Belanda. Itulah sebabnya sifat pokok dari historiografi kolonial ialah Eropa sentries atau Belanda sentris. Yang diuraikan atau dibentangkan secara panjang lebar adalah aktivitas bangsa Belanda, pemerintahan kolonial, aktivitas para pegawai kompeni (orang-orang kulit putih), seluk beluk kegiatan para gubernur jenderal dalam menjalankan tugasnya di tanah jajahan, yakni Indonesia. Aktivitas rakyat tanah jajahan (rakyat Indonesia) diabaikan sama sekali.

Historiografi kolonial adalah sebuah penulisan sejarah yang terjadi pada waktu penjajahan Belanda di Indonesia. Adapun ciri-ciri dari historiografi kolonial tersebut adalah :

Penulisannya                     : Merupakan orang Belanda yang memandang orang Indonesia
dari sudut pandang Belanda / kolonial
Bentuknya                         : Berupa laporan-laporan
Sifatnya                             : Bersifat Eropa sentris atau lebih fokusnya Belanda sentris
Sumber penulisan              : Berita-berita dari orang pribumi
Isi Penulisan                      : Berupa memori serah jabatan atau laporan khusus khusus
kepada pemerintah pusat di Batavia mengenai kekuasaan dan perluasan wilayah pejabat yang bersangkutan. Biasanya dilengkapi dengan angka-angka statistik yang cukup cermat sehingga memantapkan gambaran suatu daerah. Dalam penulisannya sangat jarang membicarakan tentang kondisi rakyat di tanah jajahan.
Historiografi kolonial ditulis dengan menggunakan bahasa Belanda. Historiografi kolonial memandang kaum pribumi, Indonesia, atau tempat-tempat yang kemudian menjadi bagian dari Indonesia sebagai pinggiran dalam narasi sejarah. Banyak peristiwa – peristiwa yang tidak dicatat oleh bangsa Belanda karena adanya kepentingan lain. Karena memandang orang Indonesia dari sudut Belanda / kolonial sehingga dalam penulisannya terdapat perbedaan / penyimpangan dalam penulisannya.
Contoh dan penulis dari penulisan dari Historiografi kolonial sebagai berikut
a)      Indonesian Trade and Society karangan Y.C. Van Leur.
b)      Indonesian Sociological Studies karangan Schrieke.
c)      Indonesian Society in Transition karangan Wertheim.

KELEBIHAN HISTORIOGRAFI MASA KOLONIAL
Tidak disangkal bahwa historiografi masa kolonial turut memperkuat proses naturalisasi historiografi Indonesia. Terlepas dari subyektifitas yang melekat, sejarawan kolonial berorientasikan fakta-fakta dan kejadian-kejadian. Kekayaan akan fakta-fakta sungguh mencolok. Pembicaraan mengenai perkembangan historiografi Indonesia tidak dapat mengabaikan literatur historiografis yang dihasilkan oleh sejarawan kolonial.
KELEMAHAN HISTORIOGRAFI MASA KOLONIAL
1. Subyektifitas Tinggi Terhadap Belanda
Subyektifitas begitu melekat pada historiografi masa kolonial. Sejarawan kolonial pada umumnya deskripsinya berorientasikan pada kejadian-kejadian yang menyangkut orang-orang Belanda, misalnya dalam sejarah VOC. Banyak kupasan-kupasan yang menekankan ciri yang menonjol yaitu Nederlandosentrime pada khususnya dan Eropasentrisme pada umumnya.
Apabila kita mengingat banyaknya perlawanan selama abad 19, baik yang berupa perang bersekala besar (Perang Padri, Perang Diponegoro, dan Perang Aceh) maupun yang bersekala kecil yang dilakukan oleh rakyat disebut rusuh atau brandalan.
2. Kekurangan Kualitatif dari Sejarawan-Sejarawan Kolonial
Kebanyakan buku tentang sejarah kolonial mempunyai hal-hal yang kaku dan dibuat-buat. Buku-buku yang seluruhnya ditulis dari ruang studi di Belanda dan hampir seluruhnya membahas Gubernemen dan pejabat-pejabatnya dan orang-orang pribumi yang kebetulan dijumpai. Hanya sedikit dibicarakan tentang rakyat yang berfikir, yang merasa dan bertindak dan hampir tidak seorang pun yang berusaha meneliti syair-syair, hikayat, babad, dan sejarah. Apa yang menjadi pertimbangan dan pendapat mereka karena kebanyakan sejarawan Campagnie hampir tidak menceritakan akan adanya tulisan-tulisan pribumi atau menilainya terlalu rendah. Mereka malu akan bahan-bahannya baik orang Eropa maupun orang pribumi dikritik. Bahwa keadaannya jauh lebih baik dan hal ini membenarkan kehadiran orang-orang Eropa sekarang.
3. Kekurangan Kuantitatif
Setelah masa kompeni relatif sedikit karya-karya yang diterbitkan yang disebabkan oleh sistem kerahasian yang fatal dan yang berlaku pada masa itu dan pergawasan yang menurun terhadap jajahan pada abad ke-18. Berdasarkan jumlah bahan arsip yang banyak, hanya sedikit saja yang merupakan sumber terbuka. Cukup besar keuntungan kita apabila mempunyai penerbit dari Generalie Missiven atau laporan-laporan kolonial yang dititipkan setiap tahun, satu atau beberapa exemplar pada kapal-kapal yang berlayar pulang. Tidak hanya mengenai sejarah Hindia Belanda melainkan juga tentang sejarah Asia dan Afrika. Kita saat ini hanya memiliki suatu penerbitan yang sangat tidak lengkap dari missiven yang dikumpulkan oleh ahli arsip kerajaan, de Jonge memiliki hubungan Indonesia. Penerbit ini dicetak atas kertas yang buruk sekali, sehingga penerbit ini tidak akan bertahan lama hal ini merupakan salah satu contoh kesulitan yang di hadapi seorang sejarahwan kompeni. Jumlah buku tentang sejarah Indonesia sangatlah minim


HISTORIOGRAFI NASIONAL

Ada pada abad 20 M- sekarang. Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia maka masalah sejarah nasional mendapat perhatian yang relatif besar terutama untuk kepentingan pembelajaran di sekolah sekaligus untuk sarana pewarisan nilai-nilai perjuangan serta jati diri bangsa Indonesia.
Ditandai dengan:
a)      Mulai muncul gerakan Indonesianisasi dalam berbagai bidang sehingga istilah-istilah asing khususnya istilah Belanda mulai diindonesiakan selain itu buku-buku berbahasa Belanda sebagian mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
b)      Mulai Penulisan sejarah Indonesia yang berdasarkan pada kepentingan dan kebutuhan bangsa dan negara Indonesia dengan sudut pandang nasional.
c)      Orang-orang dan bangsa Indonesialah yang menjadi subjek/pembuat sejarah, mereka tidak lagi hanya sebagai objek seperti pada historiografi kolonial.
d)     Penulisan buku sejarah Indonesia yang baru awalnya hanya sekedar menukar posisi antara tokoh Belanda dan tokoh Indonesia.
Jika awalnya tokoh Belanda sebagai pahlawan sementara orang pribumi sebagai penjahat, maka dengan adanya Indonesianisasi maka kedudukannya terbalik dimana orang Indonesia sebagai pahlawan dan orang Belanda sebagai penjahat tetapi alur ceritanya tetap sama.
Sesudah bangsa Indonesia memperoleh kemerdekan pada tahun 1945; maka sejak saat itu ada kegiatan untuk mengubah penulisan sejarah Indonesia sentris. Artinya bangsa Indonesia dan rakyat Indonesia menjadi fokus perhatian, sasaran yang harus diungkap, sesuai dengan kondisi yang ada; sebab yang dimaksud dengan sejarah Indonesia adalah sejarah yang mengungkapkan kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia dalam segala aktivitasnya, baik politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Dengan demikian maka muncul historiografi nasional yang memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri sebagai berikut.
1)Mengingat adanya character and nation-building.
2) Indonesia sentris.
3) Sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia.
4) Disusun oleh orang-orang atau penulis-penulis Indonesia sendiri, mereka yang memahami dan menjiwai, dengan tidak meninggalkan syarat-syarat ilmiah.
Contoh historiografi nasional, antara lain sebagai berikut.
1.      Sejarah Perlawanan-Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme, editor Sartono Kartodirdjo.
2.       Sejarah Nasional Indonesia, Jilid I sampai dengan VI, editor Sartono Kartodirdjo.
3.      Peranan Bangsa Indonesia dalam Sejarah Asia Tenggara, karya R. Moh. Ali.
4.      Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid I sampai dengan XI, karya A.H. Nasution, dan masih banyak lagi.

Pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam kajian sejarah dikaitkan dengan ketidakpuasan para sejarawan sendiri dengan bentuk-bentuk historiografi lama yang ruang lingkupnya terbatas. Historiografi baru membuka ruang cakupan yang lebih luas. Untuk itu diperlukan penyempurnaan metodologi yaitu penggunaan konsep-konsep ilmu sosial dalam analisis-analisisnya. Sehubungan dengan ini maka lebih jelas dibedakan antara sejarah lama (the old history) dan sejarah baru (the new history), seperti di bawah ini.
a. Sejarah Lama (The Old History):
1) Disebut sejarah konvensional; sejarah tradisional.
2) Mono dimensional.
3) Pemaparan deskripstif-naratif.
4) Ruang cakup terbatas.
5) Tema terbatas (sejarah politik lama atau sejarah ekonomi lama).
6) Para pelaku sejarah terbatas pada raja-raja, orang-orang besar, pahlawan atau jenderal.
7) Tanpa pendekatan ilmu-ilmu sosial.
b. Sejarah Baru (The New History)
1) Disebut sejarah baru, sejarah ilmiah (scientific history) atau  social scientific history); sejarah total (total history).
2) Multi dimensional.
3) Para pelaku sejarah luas dan beragam, segala lapisan masyarakat (vertikal atau pun horizontal; top down atau bottom up).
4) Ruang cakup luas; segala aspek pengalaman dan kehidupan manusia masa lampau.
4) Tema luas dan beragam, sejarah politik baru, sejarah ekonomi baru, sejarah sosial, sejarah agraria (sejarah petani, sejarah pedesaan), sejarah kebudayaan, sejarah pendidikan, sejarah intelektual, sejarah mentalitas, sejarah psikologi, sejarah lokal, sejarah etnis.
6) Pemaparan analitis-kritis.
7) Menggunakan pendekatan interdisiplin ilmu-ilmu sosial (politikologi, ekonomi, sosiologi, antropologi, geografi, demografi, spikologi).





0 Comments

Post a Comment

Copyright © 2009 dunia kita-kita All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.