0
Jihad Sebatang Korek
Posted by Unknown
on
7:43 AM
in
sejarah kami
Komando Jihad menjadi awal kebangkitan sekaligus perpecahan pentolan DI/TII. Intelijen menggembosinya dari dalam.
PANGGILAN
dari kantor Pelaksana Khusus Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
Jawa Barat membuat Sardjono Kartosoewirjo bergetar. Waktu itu, pada 1975, anak
bungsu Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo ini baru kelas tiga sekolah menengah
atas. Dipanggil tentara pada zaman ketika Orde Baru menancapkan pengaruhnya
sungguh membuat kecut remaja 18 tahun ini.
Bersama
ibu, dua kakak, dan pentolan Darul Islam seperti Danu Muhammad Hasan, Ateng
Jaelani, Adah Djaelani, dan Aceng Kurnia, Sardjono diterima Letnan Kolonel
Pitut Soeharto. Dengan gaya kalemnya, Direktur III Badan Koordinasi Intelijen
Negara (Bakin) tersebut menyodorkan kertas yang harus diteken 11 orang itu.
Isinya ikrar kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berasas Pancasila. "Meski masih anak-anak, saya diminta ikut tanda tangan
karena saya bisa dianggap simbol DI/TII," katanya tiga pekan lalu.
Sardjono
tak mengerti, ikrar itu adalah upaya pemerintah meredam aksi teror yang
dilancarkan pentolan eks Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di pelbagai
daerah. Gaos Taufik, misalnya, mengebom sejumlah hotel dan rumah sakit Kristen,
merampok bank, dan membunuh sejumlah orang. Gaos adalah Komandan Perang Wilayah
Besar Darul Islam Sumatera Utara.
Pitut
mengaku diutus lang-sung oleh Presiden Soeharto untuk secara rahasia mendekati
pentolan-pentolan Darul Islam. "Pak Harto menawarkan amnesti penuh kepada
mereka asal tak ada lagi aksi teror," kata Pitut, kini 81 tahun. Bentuk
pengampunan itu antara lain tawaran menjadi anggota DPRD dari Fraksi Golkar
jika partai ini menang dalam Pemilihan Umum 1971.
Darul
Islam memang sudah memaklumatkan diri menjadi pendukung Golkar setelah Bakin
mengumpulkan pemimpin dan anggota DI di rumah Danu Muhammad Hasan di Jalan Situ
Aksan 120, Bandung, pada 1971. Pertemuan tiga hari tiga malam ini dihadiri 3.000
orang dengan deklarasi dukungan terhadap partai pemerintah itu. Meski Golkar
menang dalam pemilu, mereka tak pernah menjadi legislator di parlemen pusat
ataupun daerah.
Tanpa
setahu Pitut, tokoh-tokoh ini diam-diam mendiskusikan kemungkinan kembali ke cita-cita
mendirikan Negara Islam Indonesia yang diproklamasikan Kartosoewirjo pada 7
Agustus 1949. Tak semua setuju, memang. Beberapa orang kecewa karena ada isu
reuni dibiayai Bakin yang ditandai kehadiran Pitut sebagai pejabat telik sandi
itu.
Kepada
Tempo, Pitut membantah membiayai reuni lintas generasi Darul Islam itu.
"Duit dari mana? Kami tak punya uang," katanya. Ia mengaku datang
hanya untuk menyaksikan acara karena ini pertemuan terbesar pertama setelah
Kartosoewirjo meninggal pada 1962.
Diskusi
tersembunyi itu berlangsung alot. Djaja Sudjadi, bekas menteri Negara Islam
Indonesia, menolak ide kembali ke jalan jihad. Ia menyatakan keluar dan
mendirikan DI Fillah, kelompok yang menentang perjuangan bersenjata.
Sebaliknya, Aceng dan Danu setuju menghidupkan semangat Kartosoewirjo dan
membentuk DI Fisabilillah.
Rencana
pun dimatangkan. Pada 1974, dibentuk Komando Perang Wilayah Besar yang dibagi
tiga: Sulawesi, Jawa, dan Sumatera. Sulawesi dipegang oleh Ali A.T., Sumatera
oleh Gaos, dan Jawa oleh Danu Hasan. Aksi pertama adalah merekrut anggota Darul
Islam baru dari kalangan muda, sebelum jihad benar-benar dikobarkan. Gaoslah
yang pertama akan beraksi. Dia kemudian meledakkan acara Musabaqah Tilawatil
Quran di Medan, disusul pengeboman rumah sakit Kristen di Bukit Tinggi.
Namun
aksi itu tak direspons sama sekali oleh Jawa Barat. Danu dan Aceng, yang
merestui gerakan Gaos, hanya bungkam. "Padahal Jawa Barat sudah berjanji,
'walaupun dengan sebatang korek api, jihad akan disambut oleh Jawa'," kata
Solahudin, peneliti DI/TII. "Kenapa Jawa Barat tak merespons, masih
misterius."
Ada
dugaan, Jawa Barat memang sudah gembos sebelum jihad terjadi secara masif.
Pernyataan ikrar di hadapan Pitut itu salah satunya. Belakangan diketahui bahwa
Danu ternyata bisa dibina Bakin. "Ada tiga yang ikut saya: Danu, Ateng,
dan Dodo Muhammad Darda," kata Pitut. Dodo adalah kakak Sardjono
Kartosoewirjo.
Kepada
Danu dan Aceng, Pitut memberikan modal untuk berdagang. Tapi Danu, yang lama
bergerilya di hutan, tak paham cara ambil untung. Usahanya bangkrut. Pitut lalu
menawarkan kerja di Bakin dengan ruang kantor dan gaji rutin. Sedangkan Ateng
dan Adah Djaelani sukses sebagai penyalur minyak tanah untuk seluruh Jawa Barat
di bawah perusahaan PT Taman Sebelas.
Gampangnya
Danu dibujuk juga tak lepas dari peran Ali Moertopo, Deputi Kepala Bakin waktu
itu. Ali dan Danu sama-sama pejuang di zaman revolusi kemerdekaan. Juga ada
nama lain yang bisa "dibina", yakni Haji Ismail Pranoto, yang populer
dipanggil Hispran. Dia memimpin Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam,
organisasi di bawah Golkar, dan menjadi kontraktor yang kerap bekerja sama
dengan Ahmad Rivai, tokoh DI Lampung.
Tapi
Hilmi Aminuddin menyangkal pernyataan bahwa ayahnya bisa dibina dengan mendapat
gaji dari Bakin. Menurut Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera ini,
Danu Hasan mendapat tunjangan dan beras dari Komando Daerah Militer Jawa Barat
sebagai eks pejuang 1945. "Saya yang ambil amplop dan berasnya," kata
Hilmi kepada Tempo.
Menjelang
Pemilihan Umum 1977 memang terjadi penangkapan besar-besaran eks Darul Islam.
Menurut Pitut, itu terjadi karena tenggat menyerah bagi anggota Darul Islam
telah habis. Sebab, pentolan yang tak bisa dibujuk Pitut masih menjalankan
gerilya di hutan-hutan Tasikmalaya dan Garut, seperti Ules Sudja'i. Ia
menyangkal penangkapan itu berkaitan dengan Pemilu 1977 untuk menggembosi suara
umat Islam ke Partai Persatuan Pembangunan. "Mereka ditangkap untuk
dibina, bukan dibui atau isu pemilu," katanya.
Entah
siapa yang pertama memunculkannya, penangkapan oleh Kodam Siliwangi di bawah
komando Mayor Jenderal Himawan Soetanto itu dituding sebagai penumpasan gerakan
"Komando Jihad" atau "Neo-DI". Sebab, yang ditangkap bukan
hanya mereka yang belum bisa dijinakkan, melainkan juga Danu, Hispran, Aceng,
dan Ateng. Belakangan Jaksa Agung Ali Said mengklarifikasi sebutan
"Komando Jihad" untuk segala jenis teror yang merongrong Pancasila.
Kalangan
Darul Islam sendiri tak mengenal istilah ini. "Itu istilah
pemerintah," kata Sardjono. Namun penangkapan ini menandai babak baru
Darul Islam. Di pengadilan, para terdakwa saling tuding telah menjadi
pengkhianat sehingga tentara menangkapi mereka. "Ada tokoh DI yang dibina
Bakin," kata Ateng Jaelani saat bersaksi di pengadilan Hispran. Yang dia
maksud tentu Danu Muhammad Hasan.
Sebaliknya,
Hispran menuding Ateng juga binaan intelijen dengan menikmati hidup sebagai
penyalur minyak tanah. Ia meminta maaf telah memprovokasi jemaahnya untuk
kembali kepada cita-cita Negara Islam Indonesia.
Rupanya,
reuni 1971 di rumah Danu Hasan memang benar-benar dijadikan pijakan untuk
menghidupkan Negara Islam Indonesia. Namun gerakan sporadis di Jawa Tengah dan
Timur ini berantakan sebelum mencapai target. "Komando Jihad" menjadi
pertanda kebangkitan sekaligus keterpurukan pengikut Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo
Post a Comment