0
Madilog: Sebuah Sintesis Perantauan
Posted by Unknown
on
8:05 AM
in
sejarah kami
Madilog:
Sebuah Sintesis Perantauan
SAMPAI
kematiannya yang tragis sebagai tumbal revolusi, lebih dari 20 tahun hidup Tan
Malaka dihabiskan untuk merantau di negeri lain. Dari agen Komintern untuk Asia
di Kanton sampai menjadi free agent bagi dirinya sendiri. Dari seorang pedagog
tulen dengan jaminan finansial hingga hidup merdeka seratus persen. Dan
Madilog, buku yang ditulisnya dalam persembunyian dari Kempetai, polisi rahasia
Jepang (1943), adalah warisannya yang paling otentik.
Tan
menginginkan Madilog—singkatan dari Materialisme, Dialektika, dan Logika—sebagai
panduan cara berpikir yang realistis, pragmatis, dan fleksibel. Inilah warisan
perantauannya yang berasal dari pemikiran Barat untuk mengikis nilai-nilai
feodalisme, mental budak, dan kultus takhayul yang, menurut dia, diidap rakyat
Indonesia. Mengapa? Sebab, Tan berpikir, mulai periode Yunnan sampai
imperialisme Jepang, bangsa Indonesia tidak mempunyai riwayat kesejarahan
sendiri selain perbudakan. Tak mengherankan bila budaya bangsa ini berubah
menjadi pasif dan menafikan sama sekali penggunaan asas eksplorasi logika
sains.
Madilog
adalah solusinya. Inilah sebuah presentasi ilmiah melalui serangkaian proses
berpikir dan bertindak secara materialistis, dialektis, dan logis dalam
mewujudkan sebuah tujuan secara sistematis dan struktural. Segala dinamika
permasalahan duniawi dapat terus dikaji dan diuji sedalam-dalamnya dengan
menggunakan perkakas sains; yang batas-batasnya bisa ditangkap oleh indra
manusia.
Namun,
lebih dari sekadar Barat, Madilog adalah juga sintesis perantauan dari seorang
Tan yang berlatar belakang budaya Minangkabau. Ini terjabarkan ke dalam dua
sense of extreme urgency point pemikiran Tan Malaka demi membumikan Madilog
dalam ranah Indonesia. Pertama, Madilog lahir melalui sintesis pertentangan
pemikiran di antara dua kubu aliran filsafat, yaitu Hegel dengan Marx-Engels.
Hegel dengan filsafat dialektika (tesis, antitesis, dan sintesis) dengan
kebenaran yang menyeluruh (absolute idea) hanya dapat tercapai melalui
perkembangan dinamis, dari taraf gerakan yang paling rendah menuju taraf
gerakan yang paling tinggi. Semua berkembang, terus-menerus, berubah tapi
berhubungan satu sama lain. Hegel lebih memfokuskan pemikiran bahwa untuk
mencapai kebenaran mutlak, pemikiran (ide) lebih penting daripada matter
(benda).
Sementara
itu, bagi Marx-Engels, proses dialektika ini lebih cocok diterapkan dalam ranah
matter melalui revolusi perpindahan dominasi kelas yang satu ke kelas yang lain
sampai tercapai suatu bentuk kelas yang sebenarnya, yaitu masyarakat tanpa
kelas. Jadi matter bagi Marx-Engels lebih penting daripada ide.
Nah,
dalam Madilog, Tan Malaka mencoba mensintesiskan kedua pertentangan aliran
filsafat ini untuk mengubah mental budaya pasif menjadi kelas sosial baru
berlandaskan sains; bebas dari alam pikiran mistis. Melalui sains, mindset
masyarakat Indonesia harus diubah. Logika ilmiah dikedepankan, pikiran kreatif
dieksplorasi dengan langkah dialektis dari taraf perpindahan gerakan kelas
sosial dari tingkatannya yang paling rendah sampai paling tinggi berupa kelas
sosial baru yang berwawasan Madilog. Inilah proses ”merantau” secara pemikiran
karena berbagai benturan ide yang terjadi.
Kedua,
identitas budaya Minangkabau tentang konsep rantau. Nilai penting konsep rantau
dalam budaya Minangkabau adalah mengidentifikasi setiap penemuan baru selama
merantau demi pengembangan diri. Karakter masyarakat Minangkabau adalah
dinamis, logis, dan antiparokial. Konflik batin khas perantau ditepisnya dengan
tradisi berpikir rasional, didukung dengan basis pendidikan guru, yang
mengharuskan Tan menanamkan cara berpikir yang logis. Sementara itu, merantau
adalah juga mencari keselarasan hidup; yang tersusun dari dinamika pertentangan
dan penyesuaian. Pandangan kebudayaan Minangkabau yang umum berlaku di masa
mudanya membuatnya memahami baik dinamisme Barat maupun dinamisme alam
Minangkabau di dalam suatu cara pandang terhadap dunia yang terpisahkan
(Mrazeck, 1999).
Sebagai
sintesis hasil perantauannya, Madilog merupakan manifestasi simbol kebebasan
berpikir Tan Malaka. Ia bukan dogma yang biasanya harus ditelan begitu saja
tanpa reserve. Menurut dia, justru kaum dogmatis yang cenderung mengkaji
hafalan sebagai kaum bermental budak/pasif yang sebenarnya. Di sinilah filsafat
idealisme dan materialisme ala Barat dan konsep rantau disintesiskan Tan
Malaka. Lembar demi lembar ditulisnya di bawah suasana kemiskinan, penderitaan,
dan kesepian yang begitu ekstrem. Namun Madilog-lah yang menjadi puncak
kualitas orisinal pemikiran terbaik Tan Malaka yang dikumpulkannya dari
Haarlem, Nederland (1913-1919), sampai kelahiran buah pikirnya itu di Rawajati
(1943).
Post a Comment