0
Tan Malaka: Nasionalisme Seorang Marxis
Posted by Unknown
on
7:14 AM
in
sejarah kami
TAN
Malaka meninggal pada usia 52 tahun. Setengah dari usia itu dilewatkannya di
luar negeri: enam tahun belajar di Negeri Belanda dan 20 tahun mengembara dalam
pelarian politik mengelilingi hampir separuh dunia. Pelarian politiknya dimulai
di Amsterdam dan Rotterdam pada 1922, diteruskan ke Berlin, berlanjut ke
Moskow, Kanton, Hong Kong, Manila, Shanghai, Amoy, dan beberapa desa di
pedalaman Tiongkok, sebelum dia menyelundup ke Rangoon, Singapura, Penang, dan
kembali ke Indonesia. Seluruhnya berlangsung antara 1922 dan 1942 dengan masa
pelarian yang paling lama di Tiongkok.
Selama
masa itu, dia menggunakan 13 alamat rahasia dan sekurangnya tujuh nama samaran.
Di Manila dia dikenal sebagai Elias Fuentes dan Estahislau Rivera, sedangkan di
Filipina Selatan dia menjadi Hasan Gozali. Di Shanghai dan Amoy dia adalah
Ossario, wartawan Filipina. Ketika menyelundup ke Burma, dia mengubah namanya
menjadi Oong Soong Lee, orang Cina kelahiran Hawaii. Di Singapura, ketika
menjadi guru bahasa Inggris di sekolah menengah atas, dia bernama Tan Ho Seng.
Setelah masuk kembali ke Indonesia, dia bekerja di pertambangan Bayah, Banten,
dan menjadi Ilyas Hussein.
Pelarian
dan penyamaran itu dimungkinkan, salah satunya, karena dia menguasai
bahasa-bahasa setempat dengan baik. Ketika dia ditangkap di Manila pada Agustus
1927, koran Amerika, Manila Bulletin, menulis, ”Tan Malaka, seorang Bolsyewik
Jawa, ditangkap. Dia berbicara bermacam-macam bahasa: Belanda, Inggris, Jerman,
Prancis, Tagalog, Tionghoa, dan Melayu.” Dalam pelarian itu, bermacam-macam
pekerjaan sudah dilakukannya.
Di
Amsterdam dan Rotterdam dia berkampanye untuk partai komunis Belanda pada waktu
diadakan pemilu legislatif dan ditempatkan pada urutan ketiga. Di Moskow dia
menjadi pejabat Komintern dengan tugas mengawasi perkembangan partai komunis di
negara-negara Selatan, yang mencakup Burma, Siam, Annam, Filipina, dan
Indonesia. Di Kanton dia menerbitkan majalah berbahasa Inggris, The Dawn. Di
Manila dia menjadi kontributor untuk koran El Debate. Di Amoy dia mendirikan
Foreign Languages School yang mendapat banyak peminat dan memberinya cukup
uang. Di Singapura dia menjadi guru bahasa Inggris di sekolah menengah atas
walau tanpa ijazah.
Sebelum
dibuang ke luar negeri, dia dipenjarakan tiga kali oleh pemerintah kolonial, di
Bandung, Semarang, dan Jakarta. Dalam pelariannya ke luar negeri, dia
dipenjarakan di Manila dan Hong Kong. Setelah kembali ke Indonesia, dia
dimasukkan ke penjara oleh pemerintah Indonesia di Mojokerto (1946-1947).
Dia
mengagumi secara khusus pejuang kemerdekaan Tiongkok, Dr Sun Yat-sen, yang di
kalangan pengikut bawah tanah dipanggil Sun Man. Dia membaca buku San-Min-Chu-I
dan berkesimpulan bahwa Dr Sun tidak sepaham dengan dia dalam teori dan metode.
Menurut Tan Malaka, Dr Sun bukanlah seorang Marxis, melainkan sepenuh-penuhnya
seorang nasionalis. Dalam metode, dia tidak berpikir dialektis, tapi logis.
Namun kesanggupan analisisnya tinggi, kemampuan menulisnya baik sekali, dan dia
seorang effective speaker. Kekuatan Dr Sun terdapat dalam dua hal lain, yaitu
satunya kata dan tindakan serta tabah menghadapi kegagalan. Usahanya
memerdekakan Tiongkok dari Kerajaan Manchu baru berhasil pada percobaan ke-17,
setelah 16 kali gagal.
Dr
Jose Rizal menjadi pahlawan Filipina dan pahlawan Tan Malaka karena
ketenangannya menghadapi maut. Beberapa saat sebelum dia ditembak mati, seorang
dokter Spanyol rekan seprofesinya meminta izin kepada komandan agar
diperbolehkan memeriksa kondisi kesehatannya. Dengan tercengang si dokter
melaporkan bahwa denyut pada pergelangan tangan Dr Rizal tetap pada ketukan
normal, tanpa perubahan apa pun. Ini hanya mungkin terjadi pada seseorang yang
sanggup menggabungkan keyakinan penuh pada perjuangan, ketabahan dalam
menderita, dan keteguhan jiwa menghadapi maut. Di sini terlihat bahwa Tan
Malaka bukanlah seorang Marxis fundamentalis, karena dia dapat menghargai Dr
Sun Yat-sen, nasionalis pengkritik Marxisme, dan mengagumi Dr Rizal, seorang
sinyo borjuis dengan berbagai bakat tapi menunjukkan sikap satria sebagai
pejuang kemerdekaan.
Kritik
Tan Malaka kepada Bung Karno tidaklah ada sangkut-pautnya dengan sikap Soekarno
terhadap Madilog, tapi merupakan kritik yang wajar terhadap seseorang yang
sangat dihormatinya. Dasar kritiknya adalah apa yang dilihatnya sebagai
kebajikan Dr Sun Yat-sen, yaitu satunya kata dengan perbuatan. Menurut Tan
Malaka, ketika memimpin PNI, Soekarno selalu mengajak penduduk Hindia Belanda
yang berjumlah 70 juta jiwa itu untuk berjuang mencapai Indonesia merdeka
dengan menggunakan tiga pegangan, yakni sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi,
dan aksi massa yang tak mengenal kompromi. Dia memberikan apresiasi tinggi
bahwa Soekarno telah banyak menderita dan dibuang ke pengasingan karena
gagasan-gagasan politiknya.
Maka
dia kecewa melihat Soekarno berkolaborasi dengan Jepang selama pendudukan di
Indonesia. Kekecewaan ini disebabkan oleh dua latar belakang. Pertama, Tan
Malaka merasa dekat dengan Soekarno, yang menerapkan aksi massa dalam
perjuangan politiknya hampir sepenuhnya menurut apa yang ditulisnya di
Singapura pada 1926 dalam sebuah brosur tentang aksi massa. Kedua, dia sangat
terpesona oleh perjuangan kemerdekaan Filipina dengan semboyan immediate,
absolute and complete independence (kemerdekaan segera, tanpa syarat, dan
penuh). Kekecewaan ini sedikit terobati ketika Soekarno-Hatta atas desakan
pemuda revolusioner membuat proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus
1945.
Salah
satu karya Tan Malaka yang boleh dianggap sebagai opus magnum-nya adalah buku
Madilog, yang ditulis selama delapan bulan dengan rata-rata tiga jam penulisan
setiap hari di persembunyiannya dekat Cililitan. Buku itu menguraikan tiga soal
yang menjadi pokok pemikirannya selama tahun-tahun pembuangan, dengan
bahan-bahan studi yang dikumpulkan sedikit demi sedikit, tapi sebagian besar
harus dibuang untuk menghindari pemeriksaan Jepang. Naskah buku ini praktis
ditulis hanya berdasarkan ingatan setelah bacaan dihafal di luar kepala dengan
teknik pons asinorum (jembatan keledai).
Ketiga
soal itu adalah materialisme, dialektika, dan logika. Materialisme diperkenalkannya
sebagai paham tentang materi sebagai dasar terakhir alam semesta. Logika
dibutuhkan untuk menetapkan sifat-sifat materi berdasarkan prinsip identitas
atau prinsip nonkontradiksi. Prinsip logika berbunyi: A tidak mungkin sama
dengan yang bukan A. Atau dalam rumusan lain: a thing is not its opposite.
Sebaliknya, dialektika menunjukkan peralihan dari satu identitas ke identitas
lain. Air adalah air dan bukan uap. Tapi dialektika menunjukkan perubahan air
menjadi uap setelah dipanaskan hingga 100 derajat Celsius.
Madilog
adalah penerapan filsafat Marxisme-Leninisme. Tesis utama filsafat ini
berbunyi: bukan ide yang menentukan keadaan masyarakat dan kedudukan seseorang
dalam masyarakat, melainkan sebaliknya, keadaan masyarakatlah yang menentukan
ide. Kalau kita mengamati hidup dan perjuangan Tan Malaka, jelas sekali bahwa
sedari awal dia hidup untuk merevolusionerkan kaum Murba, agar menjadi kekuatan
massa dalam merebut kemerdekaan politik. Dia bergabung dengan Komintern di
Moskow dan Kanton karena setuju dengan tesis Komintern bahwa partai komunis di
negara-negara jajahan harus mendukung gerakan nasionalis untuk menentang
imperialisme.
Semenjak
masa mudanya di Negeri Belanda, Tan Malaka sudah terpesona oleh
Marxisme-Leninisme. Paham inilah yang menyebabkan dia dipenjarakan berkali-kali
dan dibuang ke luar negeri. Ini berarti bukan penjara dan pembuangan itu yang
menjadikan dia seorang Marxis, melainkan sikap dan pendiriannya yang Marxislah
yang menyebabkan dia dipenjarakan dan dibuang. Selain itu, dia pertama-tama
tidak berjuang untuk kemenangan partai komunis di seluruh dunia, tapi untuk
kemerdekaan tanah airnya.
Dengan
demikian, hidup Tan Malaka menjadi falsifikasi radikal terhadap gagasan Madilog
yang dikembangkannya. Paradoksnya: dia seorang Marxis tulen dalam pemikiran,
tapi nasionalis yang tuntas dalam semua tindakannya. Kita ingat kata-katanya
kepada pemerintah Belanda sebelum dibuang: Storm ahead (ada topan menanti di
depan). Don’t lose your head! Ini sebuah language game yang punya arti ganda:
jangan kehilangan akal dan jangan kehilangan kepala. Tragisnya, dia yang tak
pernah kehabisan akal di berbagai negara tempatnya melarikan diri akhirnya
kehilangan kepala di tanah air yang amat dicintainya.
Post a Comment