0
Pemberontak dari Alam Permai Minangkabau
Posted by Unknown
on
8:15 AM
in
sejarah kami
BERDIRI
di tempat tinggi, menadahkan kedua tangannya, Roger Tol, peneliti dari lembaga
Belanda KITLV, berseru, ”Mengapa di tempat yang indah dan subur ini lahir
seorang pemberontak?” Harry Poeze, sejarawan peneliti Tan Malaka yang tegak di
sampingnya, hanya membisu.
Adegan
itu terjadi di Pandan Gadang, tempat lahir Ibrahim Datuk Tan Malaka, 32
kilometer dari Payakumbuh, Sumatera Barat. Kedua peneliti itu baru usai
meresmikan ”Rumah Tan Malaka: Museum dan Pustaka”, pada 22 Februari 2008.
Nagari Pandan Gadang tersuruk di Bukit Barisan, di antara lempit bukit dan
sawah hijau membentang, kicau burung berlompatan di buah-buah ranum.
Nagari
memberikan kemerdekaan kepada penduduknya untuk menjadi siapa saja. Tiada
lapisan sosial. Yang ada hanya fungsi sosial. Pemimpin hanya didahulukan
selangkah, ditinggikan seranting. Lelaki dan perempuan bicara dalam adat yang
sama. Tan Malaka beruntung menjadi anak seorang pegawai pertanian Hindia
Belanda, selangkah lebih maju dari warga lain.
Kesempatan
yang diperoleh di Sekolah Rajo, Bukittinggi, tidak lepas dari kecerdasan
sebagaimana yang dikatakan guru Belandanya, Horensma, di sekolah guru
(Kweekschool) itu, ”Rambutnya hitam-biru yang bagus sekali, bermata hitam kelam
seolah-olah memancarkan sesuatu.” Berkat gurunya ini juga Tan Malaka kemudian
sekolah ke Negeri Belanda, di usia 17 tahun. Di negeri penjajah itu, Tan Malaka
menyerap ideologi yang menjadi titik perjuangannya sampai akhir hayat.
Nagari
tidak tunduk kepada pemerintah pusat. Nagari diatur oleh tiga tungku
sejarangan: kepala adat, ulama, dan cerdik pandai. Segala aspek pemerintahan
Nagari, persoalan dan kemajuan masyarakat, diselesaikan melalui musyawarah oleh
ketiga unsur tadi di balairung. Kedaulatan rakyat terwujud pada pemerintahan
Nagari.
Pemerintahan
pusat (Raja) tidak memiliki kewenangan ikut campur. Masing-masing Nagari
mempunyai kedaulatan yang sama, tanpa hubungan struktural. Ketika Tan Malaka
kesulitan uang di Negeri Belanda, sanak-kaumnyalah yang berpatungan mengirimkan
dana (Angkoefonds). Tan Malaka menganggapnya sebagai utang, bukan sumbangan.
Tan
Malaka mendahului sekolah ke Negeri Belanda daripada Hatta, Nazir Datuk
Pamuncak, Sjahrir, Abdul Rivai, Asaat, Ibrahim Taher, Zaharin Zain, Abdul Muis,
dan Abdul Rivai. Negeri Belandalah, sebenarnya, yang membentuk wataknya:
membaca, belajar, dan menderita. Dia menutupi kekurangan uang dengan mengajar
bahasa Melayu, sambil berusaha menyelesaikan sekolah, dan berjuang melawan
sakit bronkitis, yang bermula hanya karena tidak memiliki baju hangat pada
musim dingin.
Alam
Minangkabau yang subur permai dan bebas tidaklah lengkap membekali anak
negerinya tanpa mengaji dan pencak silat. Mengaji dan silat adalah pembentuk
kepribadian dan kepercayaan diri: tak kayu jenjang dikeping; musuh indak dicari
bersua pantang dielakkan; induk cari dunsanak cari, induk semang cari dahulu.
Suatu
ketika Tan Malaka mencalonkan diri untuk Tweede Kamer (parlemen) Belanda
mewakili negeri jajahan. Orang sekarang mungkin tidak dapat membayangkan, dalam
keadaan serba terbatas Tan Malaka melanglang buana membentuk dan membangun
ideologi dalam perjalanan panjang dari Negeri Belanda, Jerman, Rusia, kemudian
naik kereta api Trans-Siberia melalui gurun es hingga Wladiwostok di Timur,
terus bolak-balik ke Amoy, Shanghai, Manila, Kanton, Bangkok, Singapura,
Semenanjung Malaya, dan Burma.
Di
kota-kota itu, sembari membangun kekuatan antipenjajahan, ia melahirkan
percikan pemikiran melalui buku, brosur, di antara bayang-bayang intelijen
Inggris, Amerika, dan Belanda. Sepuluh tahun pada akhir kehidupannya benar-benar
dia sumbangkan untuk tanah air, membangun kekuatan perlawanan rakyat melawan
Jepang dan Belanda, meskipun berakhir di ujung peluru bangsa yang
diperjuangkannya. Bukankah itu suatu kedigdayaan yang tidak dimiliki oleh semua
orang?
Tan
Malaka bukan seorang dogmatis sebagaimana Stalinis. Dia berpikir menurut
dialektika. Ketika Stalin mendakwa kesatuan Islam (Pan-Islamisme) dan Khalifah
sebagai bentuk kolonialisme, Tan Malaka membantahnya. Baginya, kesatuan Islam
tidaklah harus berada di Asia Barat saja, Pan-Islamisme haruslah dibangun di
setiap negeri muslim.
Islam,
kata Tan Malaka, telah mengajarkan sosialisme dan antipenjajahan dua belas abad
sebelum Karl Marx lahir. Karena itulah Pan-Islamisme harus membebaskan rakyat
muslim terjajah di mana pun. Pandangan semacam ini yang kemudian menarik kaum
terdidik di Minangkabau pada awal abad ke-20. Pusat kaum pelajar di Sumatera
Barat pada masa itu berada di Padang Panjang (Diniyah dan Sumatera Thawalib),
Bukittinggi (Parabek Sumatera Thawalib), Padang (Adabiyah Islamic School), dan
sekolah sekuler Kweekschool di Ford de Kock (Bukittingggi).
Penyebab
utama tumbuhnya cikal-bakal pergerakan modern kaum muda di Minangkabau adalah
dibangunnya Sekolah Guru di Bukittinggi, sebagai akibat politik etis Belanda
pada awal abad ke-20. Penyebab lainnya ialah kembalinya pelajar-pelajar Minang
berpendidikan Kairo dan Mekah, yang mendorong berdirinya lembaga pendidikan
agama secara swadaya dan berakibat tumbuhnya pemikiran baru di kalangan
generasi muda Islam.
Pengaruhnya
sangat terasa pada dua gelombang kedatangan alumni Kairo dan Mekah, seperti
Syekh Ahmad Wahab, Syekh Ahmad Chatib, Syekh Taher Djalaluddin, Syekh Karim
Amrullah, Syekh Djamil Djambek, Syekh Ibrahim Musa Parabek, dan generasi alumni
Mekah yang lebih keras, Haji Datuk Batuah, Mukhtar Lufti, dan Ilyas Jacob.
Gelombang
pertama kedatangan alumni Timur Tengah sebenarnya terjadi hampir satu abad
sebelumnya, yaitu pra-Perang Bonjol (1820-an). Mereka adalah Tuanku Nan Renceh,
Haji Miskin, Tuanku Piobang, Tuanku Pamasiangan—tokoh-tokoh pergerakan di
belakang Tuanku Imam Bonjol. Modernisasi pemikiran Islam (ada yang menyebutnya
sekularisme) yang dikemukakan Muhammad Abduh dan Kemal Ataturk lebih melekat
pada generasi terakhir pada awal abad ke-20 itu. Pada masa yang bersamaan
berkembang pula di Jawa dan Sumatera gagasan antipenjajahan.
Kemajuan
pendidikan di Minangkabau—yang disebut sebagai salah satu suku yang tertinggi
tingkat pendidikannya di Hindia Belanda (Kahin 2005, Poeze 1988, dan Naim
1979)—sebagai faktor kuatnya gerakan antipenjajahan dibanding daerah lain.
Kahin menulis, ”Orang Minangkabau sebagai orang-orang yang gelisah, dengan
tradisi pemberontakan dan perlawanan yang panjang. Selalu merasa bangga dengan
perlawanan mereka terhadap kekuatan luar, baik yang dari Jawa maupun dari
Eropa.” Kaum pergerakan kiri di Sumatera Barat selalu mengingatkan Perang
Paderi (1820-1837) dan Perang Belasting 1908 (yang menentang pemberlakuan pajak
langsung kepada rakyat), untuk menumbuhkan rasa tidak puas kepada pemerintah Hindia
Belanda.
Gerakan
kiri—diterjemahkan sebagai perlawanan terhadap kuasa, perlawanan rakyat,
radikalisme, antikemapanan, komunisme, antipenjajahan—bukan hanya milik Tan
Malaka. Ia menjadi subur dan berkembang di Minangkabau karena masyarakatnya
menganut paham kesetaraan, kesamaan derajat, hak dan tanggung jawab (egaliter)
sebagai wujud demokrasi Nagari.
Banyak
tokoh nasional yang lahir dari alam Minangkabau, sejak prakemerdekaan sampai
pascakemerdekaan, terutama hingga era demokrasi liberal (1959). Pada penelitian
saya yang bertajuk Tan Malaka, Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia
dan Singapura (Ombak, 2007), dapat dibuktikan bahwa pejuang kemerdekaan Malaya
(Malaysia) sebagian besar (21 orang) adalah keturunan dan pendatang dari
Minangkabau.
Mereka
pendiri dan pimpinan Partai Kesatuan Melayu Malaya dan Partai Komunis Malaya.
Di antaranya ialah Ibrahim Jaacob, Ahmad Boestaman, Abdullah C.D., Rashid
Maidin, Shamsiah Fakeh, dan Khatijah Sidek. Mereka bukan berada di UMNO, partai
kanan. Dari segala kepeloporan tersebut para pejuang kiri Minangkabau dapat
dikategorikan beraliran: Islam-komunis, Islam-nasionalis, sosialis-demokrat,
nasionalis kiri, dan komunis.
Kecenderungan
gerakan kiri kaum muda Minangkabau tidak lain karena pembekalan alam
Minangkabau itu sendiri: demokrasi, egaliter, kemajuan pendidikan, dan
aktualisasi merantau. Roger Tol atau Harry Poeze mungkin mendapat
jawaban—negeri yang subur dan permai itu sebenarnya melahirkan pemimpin rakyat.
Post a Comment