0
Haji Miskin
Posted by Unknown
on
8:58 PM
in
sejarah kami
Haji Miskin berasal
dari Pandaisikek Tanah Datar, telah ikut serta bersama Tuanku nan Tuo
memperbaiki keamanan para pedagang di pedalaman Minangkabau. Ia berangkat
menunaikan ibadah haji pada tahun 1803 bersama Haji Sumanik dan Haji
Piobang. Pada saat berada di Mekah, ia berkenalan dengan aliran Zahiriyah
yang dipelopori Muhammad Abdul Ibnu Wahab ( 1703-1792), sebagai lanjutan dari
pemikiran Ibnu Taimiyah (1263- 1308). Gerakan ini dikenal dengan nama Gerakan
Wahabi yang dapat mempergunakan pengaruh keluarga Su'ud dari Nejd.
Ketiga haji itu menerangkan pengalaman mereka masing-masing selama di Mekah kepada tuanku-tuanku dan alim ulama di Luhak Agam, Tanah Datar dan Lima Puluh. Pada setiap kesempatan, Haji Miskin menjelaskan aliran Wahabi di Mekah dalam melaksanakan pembaruan agama. Ia bersama Tuanku Nan Tuo menganjurkan kembali ke syariat berdasarkan al Quran. Mereka menentang menafsirkan fikih untuk kepentingan dunia. Menentang bid'ah dan khurafat yang dimasukkan ke dalam Islam. Kembali ke ajaran yang murni, menurut ajaran Wahabi, ialah menentang fatwa-fatwa ulama yang mendasarkannya pada Qur an dan Hadis. Di dalam fikih, kaum Wahabi menentang segala macam qiyas. Di dalam kehidupan sehari-hari, mereka menentang pemujaan orang keramat. Hukumnya disamakan dengan menyembah berhala. Mereka menentang minum khamar, memakai pakaian dari sutra dan memakai perhiasan emas.
Sekembali dari Mekah, Haji Miskin melengkapi gagasan-gagasan pembaruan untuk masyarakat Minangkabau dengan ajaran-ajaran Al Quran sebagai sumber hukumnya. Ia pindah ke daerah IV Koto yang berbatasan dengan Agam bagian selatan, suatu desa makmur di lereng Gunung Singgalang. Ia menerapkan tuntunan hidup berlandaskan kaidah agama dalam setiap sikap hidup.
Haji Miskin meninggalkan Pandai Sikek dan pindah ke Koto Laweh, suatu desa yang bersih, di lereng Gunung Singgalang( 1805). Di desa ini tinggal Fakih Saghir. Bersama Haji Miskin, Fakih Saghir menerapkan hukum syariat pendamping adat Minangkabau. Koto Laweh, sebuah desa yang terletak di persimpangan jalan dagang ke pantai melalui Malalak terus ke Naras, tempat kedudukan Tuanku nan Cadiak. Tuanku Nan Cadiak, seorang ulama pelindung pedagang yang menanak garam dan berdagang di Naras.
Dari Koto Laweh, Haji Miskin berangkat ke Bukit Kamang. Kemudian ia tinggal bersama Tuanku Nan Renceh di Surau Bansa (1807-1811 Haji Miskin dan Tuanku Nan Renceh mulai mengatur rencana pembaruan secara menyeluruh untuk menerapkan hukum perdagangan Islam dalam melengkapi hukum adat Minangkabau. Para pedagang dapat menerimanya, baik yang tinggal di Kamang atau maupun yang datang ke sana. Mereka berjanji saling membantu dalam transaksi antar pedagang. Selama berada di Surau Bansa, Kamang, Datuk Bandaro dan Malin Mudo dari Alahan Panjang mendengar langsung ide pembaruan dari pencetusnya, Haji Miskin. Sekembali dari Kamang, Malin Mudo membangun Bonjol sebagai tempat kaum pembaru. Tidak lama kemudian Malin Mudo dilantik menjadi Tuanku Imam Bonjol* (1807). Ia berhasil mengembangkan pembaruan ke Rao sampai ke Tapanuli Selatan, Sosa dan Tambusai. Ke timur Mahek, Kuok Bangkingkinang, Salo, dan Air Tiris.
Daerah Tuanku Nan Salapan dibentuk bersama Tuanku nan Renceh terdiri dari Kamang, Candung, Ampek Angkek, Kubu Sanang, Banuhampu, Sungai Puar, dan Padang Laweh. Di daerah ini memancarkan kesejahteraan penduduknya. Kekerasan dan perkelahian yang terjadi akibat pengembangan pembaruan untuk mengembalikan desa-desa melaksanakan syariat Islam.
Kemudian Haji Miskin berunding dengan Tuanku Nan Salapan. Mereka sepakat menunjuk Tuanku Nan Renceh sebagai pemimpin Gerakan Pembaruan, dan mencari seorang yang berpengaruh untuk melindungi usaha pembaruan. Pilihan jatuh kepada guru mereka, Tuanku Nan Tuo
Tuanku Nan Tuo menyetujui maksud mereka, tetapi tidak menyetujui kekerasan yang dilakukan dalam pelaksanaannya. Kalau pekerjaan mulia dilakukan dengan kekerasan, akan menimbulkan kekacauan. Cara ini dianggap menyimpang dari roh Muhammad yang bijaksana. Inilah ajaran yang tertera dalam 'Taufah mursala ila ruhun nabi.' Sedangkan Tuanku Nan Renceh ingin menerapkan gagasan-gagasan pembaruan yang berbeda dengan cara yang dilakukannya dahulu bersama Tuanku Nan Tuo.
Haji Miskin melanjutkan usaha pembaruan di Luhak Lima Puluh. Pada tahun 1811, ia berangkat ke ranah ini untuk menggugah ulama muda, Malin Putih di Air Tabik, untuk melakukan pembaruan. Ia berhasil baik. AiaTabit, suatu daerah subur di kaki Gunung Sago. Fakih Saghir datang ke daerah ini membantu Malin Putih yang kemudian bergelar Tuanku Nan Pahit. Mereka mendirikan sebuah benteng Bukit Kawi. Haji. Miskin pindah ke Mesjid Sungai Lundi di nagari Aia Tabik. khutbahnya berhasil menjadi sebab lahirnya rencana perubahan.
Pembaruan yang dilancarkan Haji Miskin di Aia Tabik bergema ke Halaban. Seorang ulama yang mengikuti ajaran baru ini ialah Tuanku Luak di Halaban.. Haji Miskin penyebar cita-cita dan ide pembaruan masyarakat Minangkabau yang terhunjam kuat dalam hati setiap tuanku-tuanku atau ulama Muda di Tanah Minangkabau. Dalam suasana ribut Haji Miskin mati terbunuh dan dikuburkan di atas Bukit Kawi. (1830). Tuanku Haji Miskin dianggap seorang penebar benih pembaruan masyarakat Minangkabau. Hukum Islam melengkapi adat Minangkabau, seperti jual beli (an traddin), harta pencarian, hukum waris.
Sumber: Drs. Sjafnir Aboe Nain, Tuanku Imam Bonjol, Sejarah Intelektual Islam di Minangkabau (1784-1832), Penerbit ESA, Padang 1988
Ketiga haji itu menerangkan pengalaman mereka masing-masing selama di Mekah kepada tuanku-tuanku dan alim ulama di Luhak Agam, Tanah Datar dan Lima Puluh. Pada setiap kesempatan, Haji Miskin menjelaskan aliran Wahabi di Mekah dalam melaksanakan pembaruan agama. Ia bersama Tuanku Nan Tuo menganjurkan kembali ke syariat berdasarkan al Quran. Mereka menentang menafsirkan fikih untuk kepentingan dunia. Menentang bid'ah dan khurafat yang dimasukkan ke dalam Islam. Kembali ke ajaran yang murni, menurut ajaran Wahabi, ialah menentang fatwa-fatwa ulama yang mendasarkannya pada Qur an dan Hadis. Di dalam fikih, kaum Wahabi menentang segala macam qiyas. Di dalam kehidupan sehari-hari, mereka menentang pemujaan orang keramat. Hukumnya disamakan dengan menyembah berhala. Mereka menentang minum khamar, memakai pakaian dari sutra dan memakai perhiasan emas.
Sekembali dari Mekah, Haji Miskin melengkapi gagasan-gagasan pembaruan untuk masyarakat Minangkabau dengan ajaran-ajaran Al Quran sebagai sumber hukumnya. Ia pindah ke daerah IV Koto yang berbatasan dengan Agam bagian selatan, suatu desa makmur di lereng Gunung Singgalang. Ia menerapkan tuntunan hidup berlandaskan kaidah agama dalam setiap sikap hidup.
Haji Miskin meninggalkan Pandai Sikek dan pindah ke Koto Laweh, suatu desa yang bersih, di lereng Gunung Singgalang( 1805). Di desa ini tinggal Fakih Saghir. Bersama Haji Miskin, Fakih Saghir menerapkan hukum syariat pendamping adat Minangkabau. Koto Laweh, sebuah desa yang terletak di persimpangan jalan dagang ke pantai melalui Malalak terus ke Naras, tempat kedudukan Tuanku nan Cadiak. Tuanku Nan Cadiak, seorang ulama pelindung pedagang yang menanak garam dan berdagang di Naras.
Dari Koto Laweh, Haji Miskin berangkat ke Bukit Kamang. Kemudian ia tinggal bersama Tuanku Nan Renceh di Surau Bansa (1807-1811 Haji Miskin dan Tuanku Nan Renceh mulai mengatur rencana pembaruan secara menyeluruh untuk menerapkan hukum perdagangan Islam dalam melengkapi hukum adat Minangkabau. Para pedagang dapat menerimanya, baik yang tinggal di Kamang atau maupun yang datang ke sana. Mereka berjanji saling membantu dalam transaksi antar pedagang. Selama berada di Surau Bansa, Kamang, Datuk Bandaro dan Malin Mudo dari Alahan Panjang mendengar langsung ide pembaruan dari pencetusnya, Haji Miskin. Sekembali dari Kamang, Malin Mudo membangun Bonjol sebagai tempat kaum pembaru. Tidak lama kemudian Malin Mudo dilantik menjadi Tuanku Imam Bonjol* (1807). Ia berhasil mengembangkan pembaruan ke Rao sampai ke Tapanuli Selatan, Sosa dan Tambusai. Ke timur Mahek, Kuok Bangkingkinang, Salo, dan Air Tiris.
Daerah Tuanku Nan Salapan dibentuk bersama Tuanku nan Renceh terdiri dari Kamang, Candung, Ampek Angkek, Kubu Sanang, Banuhampu, Sungai Puar, dan Padang Laweh. Di daerah ini memancarkan kesejahteraan penduduknya. Kekerasan dan perkelahian yang terjadi akibat pengembangan pembaruan untuk mengembalikan desa-desa melaksanakan syariat Islam.
Kemudian Haji Miskin berunding dengan Tuanku Nan Salapan. Mereka sepakat menunjuk Tuanku Nan Renceh sebagai pemimpin Gerakan Pembaruan, dan mencari seorang yang berpengaruh untuk melindungi usaha pembaruan. Pilihan jatuh kepada guru mereka, Tuanku Nan Tuo
Tuanku Nan Tuo menyetujui maksud mereka, tetapi tidak menyetujui kekerasan yang dilakukan dalam pelaksanaannya. Kalau pekerjaan mulia dilakukan dengan kekerasan, akan menimbulkan kekacauan. Cara ini dianggap menyimpang dari roh Muhammad yang bijaksana. Inilah ajaran yang tertera dalam 'Taufah mursala ila ruhun nabi.' Sedangkan Tuanku Nan Renceh ingin menerapkan gagasan-gagasan pembaruan yang berbeda dengan cara yang dilakukannya dahulu bersama Tuanku Nan Tuo.
Haji Miskin melanjutkan usaha pembaruan di Luhak Lima Puluh. Pada tahun 1811, ia berangkat ke ranah ini untuk menggugah ulama muda, Malin Putih di Air Tabik, untuk melakukan pembaruan. Ia berhasil baik. AiaTabit, suatu daerah subur di kaki Gunung Sago. Fakih Saghir datang ke daerah ini membantu Malin Putih yang kemudian bergelar Tuanku Nan Pahit. Mereka mendirikan sebuah benteng Bukit Kawi. Haji. Miskin pindah ke Mesjid Sungai Lundi di nagari Aia Tabik. khutbahnya berhasil menjadi sebab lahirnya rencana perubahan.
Pembaruan yang dilancarkan Haji Miskin di Aia Tabik bergema ke Halaban. Seorang ulama yang mengikuti ajaran baru ini ialah Tuanku Luak di Halaban.. Haji Miskin penyebar cita-cita dan ide pembaruan masyarakat Minangkabau yang terhunjam kuat dalam hati setiap tuanku-tuanku atau ulama Muda di Tanah Minangkabau. Dalam suasana ribut Haji Miskin mati terbunuh dan dikuburkan di atas Bukit Kawi. (1830). Tuanku Haji Miskin dianggap seorang penebar benih pembaruan masyarakat Minangkabau. Hukum Islam melengkapi adat Minangkabau, seperti jual beli (an traddin), harta pencarian, hukum waris.
Sumber: Drs. Sjafnir Aboe Nain, Tuanku Imam Bonjol, Sejarah Intelektual Islam di Minangkabau (1784-1832), Penerbit ESA, Padang 1988
Post a Comment