0
Syeikh Ahmad Khatib
Posted by Unknown
on
8:35 AM
in
sejarah kami
Syeikh Ahmad Khatib bin Abdul Latif bin Abdullah
al-Minankabawi dilahirkan dari keluarga yang berlatar belakang agama dan adat
yang kuat pada tanggal 26 Juni 1855 M/6 Dzulhijjah 1276 H di Bukittinggi,
Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya adalah seorang hakim dari kaum Paderi yang
sangat menentang keberadaan kolonialisme di Minangkabau, Sumatera
Barat.
Masa kecil Ahmad Khatib dihabiskan untuk belajar dan
menuntut ilmu. Pada tahun 1870, ia masuk sekolah pemerintah Belanda di
Minangkabau, Sumatera Barat. Ia kemudian melanjutkan pendidikkannya ke sekolah
guru (kweekschool) di Bukittinggi. Sebagaimana anak-anak dari kaum Paderi
lainnya, selain belajar di sekolah formal, ia juga belajar ilmu agama kepada
orang tua dan guru ngajinya di Surau.
Ayahnya adalah Abdullatief Khatib Nagari, saudara
dari Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras, Kepala Nagari Kotogadang, Kecamatan IV
Koto, di seberang ngarai Bukittinggi. Baik dari pihak ibu ataupun pihak
ayahnya, Ahmad Khatib adalah anak terpandang, dari kalangan keluarga yang
mempunyai latar belakang agama dan adat yang kuat, anak dan kemenakan dari dua
orang tuanku Laras dari Ampek Koto dan Ampek Angkek. Ditenggarai, bahwa ayah
dan ibu Ahmad Khatib dipertemukan dalam pernikahan berbeda nagari ini, karena
sama-sama memiliki kedudukan yang tinggi dalam adat, dari keluarga tuanku
laras, dan latar belakang pejuang Paderi, dari keluarga Pakih Saghir dan Tuanku
nan Tuo. Ibunya bernama Limbak Urai, saudara dari Muhammad Shaleh Datuk
Bagindo, Laras, Kepala Nagari Ampek Angkek yang berasal dari Koto Tuo
Balaigurah, Kecamatan Ampek Angkek Candung.
Pada usia 21 tahun, Ahmad Khatib pergi ke Mekah
untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama. Di sana ia mendapatkan
wawasan baru, tidak hanya ilmu agama, tetapi juga wawasan tentang kondisi dunia
Islam yang sedang terpuruk.
Ia meninggalkan kampung halamannya pergi ke Mekah
pada tahun 1871 dibawa oleh ayahnya. Sampai dia menamatkan pendidikan, dan
menikah pada 1879 dengan seorang putri Mekah Siti Khadijah, anak dari Syekh
Shaleh al-Kurdi, maka Syekh Ahmad Khatib mulai mengajar dikediamannya di Mekah
tidak pernah kembali ke daerah asalnya. Syekh Ahmad Khatib, mencapai derajat
kedudukan yang tertinggi dalam mengajarkan agama sebagai imam dari Mazhab
Syafei di Masjidil Haram, di Mekah.
Syeikh Ahmad Khatib adalah tiang tengah dari mazhab
Syafi'i dalam dunia Islam pada permulaan abad ke XIV. Ia juga dikenal sebagai
ulama yang sangat peduli terhadap pencerdasan umat. Imam Masjidil Haram ini
adalah ilmuan yang menguasai ilmu fiqih, sejarah, aljabar, ilmu falak, ilmu
hitung, dan ilmu ukur (geometri).
Selain masalah teologi, dia juga pakar dalam ilmu
falak. Hingga saat ini, ilmu falak digunakan untuk menentukan awal Ramadhan dan
Syawal, perjalanan matahari termasuk perkiraan wahtu shalat, gerhana bulan dan
matahari, serta kedudukan bintang-bintangtsabitah dan sayyarah, galaksi dan
lainnya.
Syeikh Ahmad Khatib juga pakar dalam geometri dan
tringonometri yang berfungsi untuk memprediksi dan menentukan arah kiblat,
serta berfungsi untuk mengetahui rotasi bumi dan membuat kompas yang berguna
saat berlayar. Kajian dalam bidang geometri ini tertuan dalam karyanya yang
bertajuk Raudat al-Hussab dan Alam al-Hussab
Syeikh Ahmad Khatib adalah seorang ulama besar di
Indonesia. Walaupun namanya kurang begitu familiar di telinga kita, peranan
beliau cukup sentral dalam perjalanan sejarah perjuangan umat Islam Indonesia,
terutama pada dua dasawarsa terakhir abad ke-19 dan 10-15 tahun pertama abad
ke-20.
Anak Golongan Ulama Dan Adat
Anak Golongan Ulama Dan Adat
Ahmad Khatib boleh dibilang berasal dari keluarga
terkemuka dan dinamis. Dia lahir di Bukittinggi pada tahun 1855. Ayahnya Jaksa
Kepala di Padang. Ibunya anak Tuanku nan Renceh, ulama terkemuka dari golongan
Paderi. Tidak syak lagi, darah yang mengalir di tubuh Ahmad Khatib berasal dari
golongan ulama dan kaum adat. Unsur ulamalah yang kemudian memainkan peranan
lebih penting dalam hidupnya, dan kelak bahkan dia menantang beberapa unsur dan
kedudukan golongan adat. Ibunya adalah adik ibu Syekh Taher Jalaluddin
(1869-1956). Dia juga punya seorang keponakan yang kelak menjadi orang besar di
Republik. Namanya Haji Agus Salim.
Pada usia yang masih muda sekali, Ahmad Khatib
dibawa ayahnya ke Mekkah dan kemudian bermukim di sana. Perkembangan karirnya
di Mekkah digambarkan oleh Hamka sebagai berikut:
“… pada tahun 1896, yaitu setelah 10 tahun dia di
Mekkah, karena baik budi dan luas ilmunya dan disayangi orang, beliau disayangi
oleh seorang hartawan Mekkah, bernama Syekh Saleh Kurdi, saudagar dan penjual
kitab-kitab agama. Syekh Saleh berasal dari keturunan Kurdi dan mazhab orang
Kurdi adalah Syafi’i… Oleh karena Syekh Saleh seorang hartawan dan baik
hubungannya dengan pihak kerajaan syarif-syarif di Mekkah, maka Ahamd Khatib
dikenal oleh istana dan ulama-ulama lain; dan memang sikap budi bahasanya dan
keteguhan pribadinya menunjukkan pula bahwa dia seorang yang berdarah dan
berbudi bangsawan. Bintangnya cepat naik. Menurut keterangan puteranya Abdul
Hamid Al-Khatib, dalam satu jamuan makan berbuka puasa di istana Syarif, ketika
Syarif menjadi imam maghrib di sana, ada bacaan yang salah, pemuda Ahmad Khatib
yang menjadi makmum dengan serta merta menegur kesalahan itu, sehingga sehabis
shalat, Syarif bertanya kepada Syekh Saleh Kurdi, siapa pemuda ini. Setelah
diterangkan bahwa itu adalah menantunya, Syarif memuji Syekh Saleh mendapat
menantu pemuda yang begitu tampan, manis, alim, dan berani. Inilah yang
kelaknya menjadi pintu dia akan diangkat menjadi imam dari golongan Syafi’i di
Masjidil Haram dan kemudian ditambah lagi menjadi khatib, merangkap pula
menjadi Guru Besar, ulam yang diberi hak mengajar agama di Masjidil Haram.
Menurut Snouck Hurgronje, tugas seorang Imam di
Masjidil Haram cukup terbatas: dia adalah hanya anggota dari suatu kelompok
orang yang secara bergiliran memimpin salat menurut Mazhab Syafi’i. Memang
jarang sekali seorang yang bukan Arab atau orang yang bukna berasal dari Mekkah
diangkat menjadi anggota tim ini.
Waktu Snouck Hurgronje bermukim di Mekkah (1884/5),
Syekh Ahmad Khatib belum begitu terkenal. Orientalis yang menyamar dengan nama
Abdul Ghaffar itu tidak menyebut namanya dalam buku tentang Mekah. Satu
dasawarsa kemudian, 1894, dan seterusnya barulah Snouck menulis laporan tentang
Syekh Khatib. Bahkan pada tahun 1904 Ahmad Khatib disebut sebagai: “Seorang
yang berasal dari Minangkabau, yang oleh orang Jawa di Mekkah dianggap sebagai
ulama yang paling berbakat dan berilmu di antara mereka. Semua orang di
Indonesia yang naik haji, mengunjungi dia”.
Menurut Haji Agus Salim dalam kuliahya di
Universitas Cornell pada tahun 1953, Syekh Ahmad Khatib tidak mempunyai
hubungan yang baik dengan Snouck Hurgronje waktu dia mengunjungi Mekkah. Memang
dalam buku Snouck Hurgronje banyak tokoh yang menerima gambaran yang lengkap
tetapi Ahmad Khatib tidak, barangkali karena dia masih terlalu muda pada waktu
itu. Pada tahun 1905 Snouck Hurgronje dimintai pendapatnya tentang kemungkinan
Agus Salim diangkat sebagai pegawai Kedutaan di Jeddah dan Residen Riau pada
waktu itu mengemukakan keberatan: “Mungkin Agus Salim akan dipengaruhi oleh
pamannya di Mekakh yang begitu fanatik antiadat. Pada waktu itu Snouck
Hurgronje tidak melihat bahaya dalam posisi Agus Salim di Jeddah.
Boleh jadi Snouck tidak begitu menyukai Syekh
Khatib. Bahkan orang yang pernah menikahi mojang priangan ini, dan punya anak
pula tapi dia tidak mengakui perkawinan dan otomatis anaknya itu di depan hukum
Belanda, punya pandangan yang miring terhadap mertua Syekh Khatib. Menurutnya
Saleh Kurdi seorang woekeraar, alias rentenir, yaitu orang yang meminjamkan
uang dengan bunga yang terlalu tinggi. Lantaran kaya sekali dia pernah menolong
Syarif yang sedang kesulitan uang. Dengan begitu dia pun menjadi cukup akrab
dengan penguasa Mekkah itu, dan bisa mendapatkan kedudukan terhormat untuk
menantunya. Memang pandangan Snouck Hurgronje tentang Ahmad Khatib ini penuh
dengan kritik tajam dan fitnah. Kritik ini mungkin didalangi oleh Sayid Usman
yang berpolemik dengan dia. Yang pasti, Saleh Kurdi juga aktif di bidang
penjualan buku dan penerbitan. Pada tahun 1926 Hamka pernah bekerja di
perusahaan percetakannya itu.
Guru dan Sahabat
Peranan ulama yang berasal dari dunia Melayu di
Masjid al-Haram Mekah sudah berjalan begitu lama dan bersambung daripada satu
generasi ke generasi berikutnya. Sebagai contoh ulama dunia Melayu yang pernah
menjadi imam dan khatib dalam Mazhab Syafie di Masjid al-Haram Mekah yang dapat
diketahui ada tiga orang, iaitu Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani.
Lebih kurang seratus tahun kemudian ialah Syeikh
Ahmad Khatib al-Minankabawi (lahir Isnin, 6 Zulhijjah 1276 H/26 Jun 1860 M,
wafat pada tanggal 9 Jumada al-Awal 1334 H/13 Maret 1916 M dalam usia 61 tahun
di Mekah, Saudi Arabia) dan Syeikh Abdul Hamid Muhammad Ali Kudus (lahir 1277
H/1860 M, riwayat lain dinyatakan lahir 1280 H/1863 M, wafat 1334 H/1915 M).
Ketiga-tiga ulama yang tersebut sangat terkenal
dalam pelbagai bidang yang merekapelajari.
Nama lengkap ulama yang diriwayatkan ini ialah Syeikh
Ahmad Khatib bin Abdul Lathif bin Abdullah al-Minankabawi. Beliau dilahirkan di
Minangkabau, Sumatera Barat dan wafat di Mekah pada tarikh yang tersebut di
atas. Mendapat pendidikan awal memasuki sekolah pemerintah Belanda di
Minangkabau selain menerima pendidikan agama daripada keluarga sendiri.
Setelah berada di Mekah barulah beliau mendapat
pendidikan agama yang mendalam daripada ulama Mekah terutama ;
3. Syeikh
Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki
4. dan lain-lain.
Murid-murid
Banyak murid Syeikh Ahmad Khatib yang kemudian
menjadi ulama besar Indonesia yang memelopori gerakan pembaharuan agama dan
sebagai tokoh perlawanan terhadap Belanda. Mereka menjadi pembaharu-pembaharu
pertama di daerahnya, seperti
Syeikh Muhammad Djamil Djambek
Haji Abdul Karim Amrullah (ayah Hamka)
Haji Abdulllah Ahmad
Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli dari Caduang Bukittingi
K.H. Hasjim Asj’ari
Kyai Wahab Hasballah
Kyai Bisri Syamsuri
Pada dasarnya ada beberapa faktor yang
melatarbelakangi corak pemikiran Syeikh ahmad Khatib. Pertama, ia berada di
tengah-tengah meningkatnya Islamic Revivalism yang berpusat di Mekah. Kedua,
pada masa itu tengah berkembang perasaan anti-kolonialisme di dunia Islam.
Posisinya sebagai Imam Madzhab Syafi’i di Masjidil Haram telah memungkinkan ia
mentransmisikan pemikiran-pemikiran reformasi Islam kepada murid-muridnya, di
samping tentunya pengajaran ilmu-ilmu agama.
Setidaknya ada dua bidang yang menjadi sasaran dari
pemikirannnya, yaitu bidang pendidikan/akidah dan bidang politik. Dalam bidang
akidah, Syeikh Ahmad Khatib banyak menentang praktek-praktek adat dan tingkah
laku yang bertentangan dengan ajaran Islam, terutama di daerah Minangkabau
sebagai tanah kelahirannya. Hal ini dapat dilihat dari publikasi
tulisan-tulisannya, di antaranya tentang salah satu tarekat (Tarekat
Naqsabandiyah) di Minangkabau yang banyak bertentangan dengan syari’at Islam,
selain itu tentang penolakan terhadap sistem waris adat Minangkabau.
Publikasi tulisan-tulisan tersebut telah
membangkitkan semangat dan cita-cita pembaharuan Islam di Minangkabau, yang
kemudian merembet ke daerah-daerah lainnya, terutama ke Pulau Jawa.
Di bidang politik, pemikiran Syeikh Khatib juga
cukup berpengaruh. Menurut Haji Agus Salim, dalam suatu seminar di Cornel
University (4 Maret 1953), Syeikh Ahmad Khatib adalah seseorang yang anti
Belanda. Perasaan itu selalu ia gelorakan kepada murid-muridnya di Mekah.
Prinsipnya, “Berperang melawan penjajah adalah jihad di Jalan Allah.”
Kebenciannya terhadap Belanda dapat dilihat pada
hubungannya yang kurang baik dengan Snouck Hurgronje, ketika ilmuwan dan
orientalis Belanda tersebut sedang berada di Mekah pada tahun 1885.
Melihat fakta-fakta tersebut, nyatalah bahwa peranan
Syeikh Ahmad Khatib tidak bisa dianggap kecil. Meskipun tidak terlibat langsung
dalam perlawanan melawan kolonial Belanda, pemikiran dan publikasi
tulisan-tulisannya telah menjadi “katalisator” bagi gerakan umat Islam dalam
menemukan jati dirinya kembali.
Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi merupakan ulama
yang memiliki pendirian kuat dan menguasai berbagai displin ilmu. Dalam bidang
fiqh dan akidah, ia masih tetap berpegang teguh pada madzhab Syafi‘i dan Ahl
al-Sunnah wa al-Jama‘ah. Kedua hal inilah yang kemudian mengantarkannya menjadi
imam madzhab Syafi‘i di Masjid al-Haram dan berhak menyandang gelar
Syeikh.
Pemikiran
Menurut riwayat, Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi
merupakan salah seorang tokoh intelektual abad ke-19 yang membawa gerakan pembaharuan
(modernisme) Islam di Indonesia, khususnya daerah Minangkabau, meskipun setelah
menunaikan ibadah haji (1882) hingga akhir hayatnya, ia tidak pernah kembali
lagi ke tanah kelahirannya. Namun demikian, ia tetap menjalin hubungan intensif
dengan orang-orang Indonesia, baik melalui mereka yang menunaikan ibadah haji
maupun melalui para muridnya yang memperdalam ilmu agama di Mekah. Jabatannya
sebagai imam madzhab Syafi‘i di Masjid al-Haram membuka peluang yang luas
baginya untuk mentransformasikan pemikiran-pemikiran reformatif kepada para
jama‘ah haji dan murid-muridnya.
Pada dasarnya ada beberapa faktor yang
melatarbelakangi pemikiran Syeikh Ahmad Khatib, pertama, ia hidup pada masa
kemunculan gerakan Islamic Revivalism yang bermarkas di Mekah; kedua, ia
menyaksikan perkembangan gerakan antikolonialisme di dunia Islam yang semakin
mendunia. Dengan demikian, setidaknya ada dua bidang yang menjadi fokus pemikirannya,
yaitu bidang akidah dan bidang politik.
Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi adalah seorang
ulama yang paling banyak melakukan polemik dalam pelbagai bidang. Sebagai
catatan ringkas di antaranya ialah polemik dengan golongan pemegang adat
Minangkabau, terutama tentang hukum pusaka.
Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi menyanggah
beberapa pendapat Barat tentang kedudukan bumi, bulan dan matahari, serta
peredaran planet-planet lainnya yang beliau anggap bertentangan dengan
pemikiran sains ulama-ulama Islam yang arif dalam bidang itu.
Sehubungan ini, Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi
sangat menentang ajaran Kristian terutama tentang `triniti'. Dalam permasalahan
mendirikan masjid untuk solat Jumaat, Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi
berkontroversi dengan Sayid Utsman (Mufti Betawi) dan beberapa ulama yang
berasal dari Palembang dan ulama-ulama Betawi lainnya.
Polemik yang paling hebat dan kesan yang
berkesinambungan ialah pandangannya tentang Thariqat Naqsyabandiyah. Syeikh
Ahmad Khatib al-Minankabawi telah disanggah oleh ramai ulama Minangkabau
sendiri terutama oleh seorang ulama besar, sahabatnya. Beliau ialah Syeikh
Muhammad Sa'ad Mungka yang berasal dari Mungkar Tua, Minangkabau.
Sehubungan dengan sanggahannya terhadap thariqat
Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau menyanggah pula teori `Martabat Tujuh' yang
berasal daripada Syeikh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanfuri.
Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi adalah seorang
yang berpendirian keras dan radikal, sungguhpun beliau menguasai banyak bidang
ilmu, namun beliau masih tetap berpegang (taklid) pada Mazhab Syafie dalam
fikah dan penganut Ahli Sunnah wal Jamaah mengikut Mazhab Imam Abu Hasan
al-Asy'ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi dalam akidah.
Sebagai contoh, dalam pertikaian dua orang muridnya
yang berbeza pendapat. Yang seorang berpihak kepada `Kaum Tua', beliau ialah
Syeikh Hasan Ma'sum (1301 H/1884 M-1355 H/1974 M) yang berasal dari Deli,
Sumatera Utara. Dan seorang lagi berpihak kepada `Kaum Muda', beliau ialah Haji
Abdul Karim Amrullah (ayah kepada Prof. Dr. Hamka).
Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi berpihak kepada
Syeikh Hasan Ma'sum (Kaum Tua). Bahkan dalam satu kenyataannya Syeikh Ahmad
Khatib al-Minankabawi menolak sumber asal pegangan Haji Abdul Karim Amrullah
(Kaum Muda) yang menurut beliau telah terpengaruh dengan pemikiran Ibnu
Taimiyah (661 H/1263 M - 728 H/1328 M), yang ditolak oleh golongan yang
berpegang dengan mazhab.
Melalui pertemuan dengan jama’ah haji dari seluruh
dunia, ataupun melalui dialog dan tukar pikiran dengan guru-guru dan
rekan-rekannya, Ahmad Khatib mendapatkan suatu kesadaran akan pentingnya
persatuan dan reformasi kesadaran umat dalam mengubah keadaan. Di Mekah, beliau
berhasil meraih “puncak karier” sebagai ulama, ia diangkat sebagai imam Madzhab
Syafi’i di Masjidil Haram yang merupakan kedudukan tertinggi dalam otoritas
mengajarkan agama- dan berhak menyandang gelar Syeikh.
Menurut catatan sejarah, Syeikh Ahmad Khatib
merupakan salah seorang tokoh penting yang mempelopori gerakan pembaharuan
Islam di Indonesia, khususnya daerah Minangkabau. Meskipun sampai akhir
hayatnya ia tak pernah kembali ke tanah kelahirannya, ia tetap menjalin
hubungan yang intens dengan Nusantara melalui orang-orang Indonesia yang
menunaikan ibadah haji atau pun mereka yang sengaja memperdalam ilmu agama di
Mekah.
a) Adat MinangKabau
Syeikh Ahmad Khatib banyak menentang praktek-praktek
adat dan tingkah laku yang bertentangan dengan ajaran Islam, dan
beliau menolak hukum waris adat Minangkabau yang menganut Sistem
Matrilinieal dimana adat masyarakat yang mengatur
alur/garis keturunan berasal dari pihak ibu.
Menurut adat minangkabau harta pusaka diwariskan
kepada kemenakan, bukan kepada anak sesuai dengan ajaran Islam. sedangakan
kemanakan laki-laki hanya menjadi pembantu saja dalam menggarap dalam
memelihara harta pusaka itu.
Ia hanya memperoleh sebagian hasil sebagai upah
pekerjaannya. Padahal menurut ajaran Islam, harta pusaka diwariskan kepada
anak sendiri dengan ketentuan anak laki-laki memperoleh dua bagian daripada
anak perempuan. Jadi jelas adanya perbedaan/pertentangan antara peraturan adat
dengan peraturan agama dalam hal warisan di minangkabau.
Pengetahuan agama yang diperoleh Syaikh Ahmad Khatib
telah membentuk sikapnya yang tegas terhadap adat-istiadat minangkabau yang
berdasarkan sistem kekeluargaan Matriarkat itu. Beliau sangat menentang adat,
terutama dalam hal warisan. Tantangannya terhadap adat ini bahkan lebih keras
daripada tantangannya terhadap tarekat naqsyabandi.
Beliau menulis dua buah buku mengenai harta pusaka
ini, yaitu; “Al-Da’i al-masmu’ fi ‘il-radd ‘ala yuwarritsu’
-ikhwahwa awlad al-akhawat ma’a wujud al-ushul wa’l-furu’ ” yang
artinya “seruan yang di didengar dalam menolak perwarisan kepada saudara
dan anak-anak saudara perempuan beserta dasar dan perincian”. ditulis dalam
bahasa arab dan dicetak di mesir pada tahun 1309 H.
Menurut keterangan B.J.O.Schirieke masih ada
publikasi-publikasi lain dari Syaikh Ahmad Khatib yang menyinggung masalah
warisan ini. Mengenai ini ia menunjuk buku Al-Ajat al-Bayyinat halaman 15. buku
yang ditujukan Ahmad Khatib kepada seorang ulama tradisi pembela tarekat yang
bernama Syaikh Sa’ad Mungka.
Menurut ahmad Khatib, barangsiapa yang masih
mematuhi adat yang berasal dari kerajaan syaitan – yaitu dari datuk perpatih
nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan - disamping hukum Allah adalah
kafir dan masuk neraka. Semua harta benda yang diperoleh menurut hukum waris
kemenakan dianggap sebagai harta rampasan.
Barangsiapa yang mempertahankan sebagai miliknya
berdosa besar, karena menghabiskan harta benda anak yatim piatu. Pelakunya
adalah fasik dan tidak berhak/bias menjadi saksi dalam perkawinan. Ia hanya
akan membuat perkawinan itu menjadi tidak sah. Karena itu tobat adalah mutlak
dan perkawinan itu harus diulang kembali kalau tidak maka orang menjadi murtad.
Hendaknya hubungan diputuskan dengan mereka yang tidak mau menerima hukum waris
Islam dan mereka tidak berhak untuk mendapatkan pemakaman secara Islam.
b) Bidang Tarekat
Syeikh Ahmad Khatib banyak menentang praktek tarekat
Naqsyabandiyah al-Khalidiyyah di Minangkabau, Sumatera Barat.
Menurutnya ke dalam tarekat naqsyabandi telah masuk
bid’ah yang tidak terdapat pada masa Rasul dan para sahabat dan tidak pernah
diamalkan oleh imam mahzab yang empat. seperti menghadirkan gambar/rupa guru
dalam ingatan ketika mulai suluk – sebagai perantara kepada Tuhan.
Beliau mengatakan perbuatan serupa itu sama saja
dengan penyembahan berhala yang dilakukan oleh orang-orang musyrik. karena rupa
guru yang dihadirkan dan berhala-berhala yang dibuat oleh manusia tidak memberikan
manfaat dan mudharat kepada manusia.
Penolakan Syaikh Ahmad Khatib terhadap praktek
tarekat naqsyabandi di Minangkabau di ungkapkan dalam buku yang berjudul
“Izhharu Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin” yang artinya
menjelaskan kekeliruan para pendusta.
Buku yang dikarang oleh Ahmad Khatib untuk menjawab
pertanyaan muridnya Haji Abdullah Ahmad di Padang Panjang. buku tersebut telah
sampai di Minangkabau tahun 1906, yang merupakan tulisan sanggahan
terhadap tarekat Naqsyabandiyyah al-Khalidiyah di Minangkabau. Kitab tersebut
mengundang kemarahan seluruh penganut tarekat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah dan
penganut-penganut tarekat lainnya.
Syeikh Muhammad Sa‘ad Mungka (salah seorang ulama
dari ‘kaum tua‘ yang menganut tarekat Naqsyabandiyyah) menanggapi karya
tersebut dengan bukunya yang berjudul “Irghamu Unufi Muta‘annitin fi
Inkarihim Rabithatil Washilin.”
Dengan terbitnya karya Mungka tersebut, Syeikh Ahmad
Khathib al-Minankabawi kemudian menjawabnya kembali dengan bukunya yang
berjudul “Al-Ayatul Baiyinat lil Munshifin fi Izalati Khurafati Ba‘dhil
Muta‘ashshibin.” Karya ini juga kembali disanggah oleh Syeikh Muhammad
Sa‘ad Mungka dengan karyanya yang berjudul “Tanbihul ‘Awam ‘ala Taqrirati
Ba‘dhil Anam.” Publikasi perdebatan-perdebatan ini kemudian membangkitkan
semangat para pembaharu Islam di Minangkabau, yang kemudian menjalar ke Pulau
Jawa seperti gerakan pembaharuan Muhammadiyah yang dipelopori oleh KH. Ahmad
Dahlan. Setelah karya ini, tidak terdapat sanggahan kembali dari Syeikh Ahmad
Khathib al-Minankabawi.
c) Bidang Politik
Menurut Haji Agus Salim, dalam suatu seminar di
Cornel University (4 Maret 1953), Syeikh Ahmad Khatib adalah ulama yang anti
Belanda. Perasaan itu selalu ia gelorakan kepada murid-muridnya di Mekah. Ia
berpendapat bahwa berperang melawan penjajah adalah jihad di jalan Allah.
Kebenciannya terhadap kolonialis dapat dilihat dari hubungannya yang kurang
baik dengan Snouck Hurgronje, ilmuwan dan orienttalis asal Belanda, ketika
mengunjunginya di Mekah pada tahun 1885.
Sebagaimana diungkapkan oleh Karel Steenbrink
(1984), sesudah Sarekat Islam didirikan pada 1912, Sayid Usman, pegawai
pemerintah Hindia Belanda yang bertugas melancarkan pekerjaan Snouck Hurgronje,
dan sudah begitu tua waktu itu, masih bersedia mengarang brosur yang menentang
organisasi ini. Judulnya Menghentikan Rakyat Biasa dari Bergabung dengan
Sarekat Islam. Dalam tulisannya, ulama Betawi ini menuduh Sarekat Islam sebagai
kelompok yang tidak Islam sama sekali. Dia juga mencap bahwa Haji Umar Said
Cokroaminoto (HOS Tjokroaminoto), pemimpin organisasi ini, “tidaklah hidup
sesuai dengan norma-norma Islam” Brosur ini dikirimkan oleh pemerintah kolonial
kepada guru-guru agama di Pulau Jawa dan pulau-pulau lain di Indonesia. Dan
Ahmad Khatib menolak keras pendapat musuh lamanya itu. Kita ketahui, kelak
keponakannya, Haji Agus Salim, bergabung dengan Sarekat Islam dan menjadi orang
penting di sini. Salah satu peran terbesar Haji Agus Salim adalah membersihkan
organisasi dari anasir komunisme.
Ahmad Khatib memang tidak sekali-dua menyerang
Belanda. Dalam berbagai tulisannnya, Ahmad Khatib menyamakan Belanda dengan
orang kafir yang mengguncangkan agama islam di hati penganutnya. Dalam bukunya,
Dhau as-Siraj pada menyatakan Isra’ dan Mi’raj, yang diterbitkan tahun 1894, ia
antara lain menulis:
“Ketahuilah olehmu, bahwasanya hamba, tatkala
mendengar daripada ihwal saudara-saudara kita daripada orang Melayu yang telah
bernama dengan orang Islam, yang telah bercampur mereka itu dengan orang kafir,
sebelum mengetahui ia daripada agamanya lain daripada syahadat saja, dan
menyatakanlah orang putih itu padanya syubhat-syubhat pada agama Islam yang ada
setengah dari pada syubhat itu mi’raj Nabi kita kepada langit dan menerima pula
orang jahil akan demikian syubhat dan memungkiri pulalah ia akan mi’raj Nabi
kita, karena mengingat kata gurunya orang kafir itu karena jahilnya dengan
hakekat agamanya dan karena buta-butanya daripada ilmu dan karena itu adalah ia
kepada barang mana ditariknya oleh orang putih, niscaya tertariklah ia sertanya
dan tiada mengetahui ia akan bodohnya. Maka kasihlah hati hamba kepada mereka
itu mendengar hal mereka itu, karena telah jadi mereka itu dengan demikian itu
murtad, keluar daripada agama Islam dan tiadalah harus bahwa disembahyangkan
mereka itu kemudian daripada mati…”
Karya
Sebagai ulama besar Melayu yang bermukim di Mekah,
Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi telah menulis beberapa karya, baik berbahasa
Melayu maupun berbahasa Arab, di antaranya:
Al-Jauharun Naqiyah fil A'mali Jaibiyah (bahasa
Arab), diselesaikan pada hari Isnin, 28 Zulhijjah 1303 H. Kandungannya
membicarakan ilmu miqat. Dicetak oleh Mathba'ah al- Maimuniyah, Mesir, Rejab
1309 H.
Hasyiyatun Nafahat `ala Syarhil Waraqat (bahasa
Arab), diselesaikan pada hari Khamis, 20 Ramadan 1306 H. Kandungannya mengenai
ilmu ushul fiqh. Dicetak oleh Mathba'ah Darul Kutub al-'Arabiyah al-Kubra,
Mesir, 1332 H.
Raudhatul Hussab fi A'mali `Ilmil Hisab (bahasa
Arab), diselesaikan peringkat pertama hari pada Ahad, 19 Zulkaedah 1307 H di
Mekah. Kandungannya mengupas dengan mendalam perkara matematik. Dicetak oleh
Mathba'ah al-Maimuniyah, Mesir, Zulkaedah 1310 H.
Ad-Da'il Masmu' fir Raddi `ala man Yuritsul Ikhwah
wa Auladil Akhawat ma'a Wujudil Ushl wal Furu' (bahasa Melayu). Diselesaikan
pada 14 Muharam 1309 H. di Mekah. Kandungannya mengenai pembahagian pusaka
menurut agama Islam dan membantah pusaka menurut ajaran adat Minangkabau.
Dicetak oleh Mathba'ah al-Maimuniyah, Mesir, Zulkaedah 1311 H. Bahagian tepi
dicetak karya beliau berjudul Al-Manhajul Masyru' Tarjamah Kitab Ad-Da'il
Masmu' (bahasa Melayu).
`Alamul Hussab fi `Ilmil Hisab (bahasa Melayu),
diselesaikan pada 6 Jamadilakhir 1310 H. di Mekah. Kandungannya mengupas dengan
mendalam perkara matematik. Dicetak oleh Mathba'ah al-'Amirah al-Miriyah,
Mekah, akhir Zulkaedah 1313 H. Bahagian tepi dicetak karya beliau berjudul
An-Nukhbatun Nahiyah Tarjamah Khulashatil Jawahirin Naqiyah fil A'malil Jabiyah
(bahasa Melayu), selesai mengarang pada malam Sabtu, 6 Jamadilakhir 1313 H.
Al-Manhajul Masyru' Tarjamah Kitab Ad-Da'il Masmu'
(bahasa Melayu), diselesaikan pada hari Khamis, 26 Jamadilawal 1311 H. di
Mekah. Kandungannya mengenai pembahagian pusaka menurut agama Islam dan
membantah pusaka menurut ajaran adat Minangkabau. Dicetak oleh Mathba'ah
al-Maimuniyah, Mesir, Zulkaedah 1311 H. Bahagian tepi dicetak karya beliau
berjudul Ad-Da'il Masmu' fir Raddi `ala man Yuritsul Ikhwah wa Auladil Akhawat
ma'a Wujudil Ushul wal Furu'.
Dhau-us Siraj (bahasa Melayu), diselesaikan pada
malam 27 Rabiulakhir 1312 H. di Mekah. Kandungannya membicarakan Isra dan
Mikraj. Dicetak oleh Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1325 H.
An-Nukhbatun Nahiyah Tarjamah Khulashatil Jawahirin
Naqiyah fil A‘malil Jabiyah (bahasa Melayu).
Shulhul Jama'atain bi Jawazi Ta'addudil Jum'atain
(bahasa Arab), diselesaikan pada malam Selasa, 15 Rejab 1312 H. di Mekah.
Kandungannya membicarakan Jumaat, merupakan sanggahan sebuah karya Habib
`Utsman Betawi. Cetakan pertama oleh Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah,
1312 H.
Penghargaan
Atas penguasan dan pengetahuannya tentang madzhab
imam Syafi‘i, Syeikh Ahmad Khatib telah diangkat sebagai “Imam Khatib dan Mufti
Besar Madzhab Syafi‘i” di Masjid al-Haram, Mekah, sehingga ia berhak
mengajarkan madzhab Syafi‘i dan menyandang gelar ‘Syeikh‘. Menurut riwayat, ia
adalah satu-satunya ulama Indonesia yang mencapai penghargaan setinggi itu.
Sumber :
Post a Comment