0
Kegagalan Historiografi indonesiasentris ??
Posted by Unknown
on
9:03 PM
in
sejarah kami
Penulisan sejarah
Indonesia pada masa kolonial umumnya hanya ditulis berdasarkan sumber-sumber
Barat peninggalan administrasi kolonial. Kecenderungan para sejarawan yang
terlalu menggantungkan sumber-sumber kolonial ini ternyata “menjadi salah satu
penyebab gagalnya historiografi Indonesiasentris yang telah dirintis sejarawan
Sartono Kartodirdjo.”
Perspektif sejarah
indonesiasentris menunjukkan dua babak baru dalam sejarah Indonesia. Pertama,
sebagai titik balik historiografi tentang Indonesia yang selama ini
bersifat netherlandsentris, kemudian selanjutnya digantikan
dengan indonesiasentris. Kedua, dimulainya historiografi Indonesia moderen
oleh orang Indonesia dan di negerinya sendiri, dengan ditandai berlangsungnya
Seminar Sejarah Nasional Indonesia pertama di Yogyakarta tahun 1957.
Sejak tahun 1957,
ketika kongres pertama sejarah nasional Indonesia digelar hingga akhir abad 20,
historiografi Indonesia mengalami pekembangan yang kurang membanggakan, dengan
meminjam istilah Geertz; involusi, sejarah Indonesia seakan masih “dijaman
kolonial”. Historiografi indonesiasentris yang mampu menghadirkan pandangan dan
orang Indonesia menjadi aktor utama dalam sejarah nasional yang juga dilandasi
kaedah keilmuan moderen, ternyata tak ubahnya seperti sejarah yang ditulis
kolonialis Belanda. Artinya, tetap saja rezim kolonial yang menjadi fokus
penulisan biarpun dalam arti yang negatif (Purwanto 2005; 22).
Indonesiasentris dalam
historiografi dapat berarti sejarah yang ditulis, menjadikan orang Indonesia
sebagai fokus utamanya, dan dilihat dari sisi pandang bangsa tersebut. Secara
teoritik dan filosofis, didalam tradisi indonesiasentris, sejarah Indonesia
dipahami dari dalam yang berorientasi pada masyarakat Indonesia sebagai sebuah
keutuhan bangsa (Purwanto 2006;11). Dengan kata lain, perspektif yang digunakan
ialah perspektif Indonesia (Ali 2005; 263). Oleh karena Indonesia masih
tergolong negara yang baru merdeka, bangsa Indonesia harus membikin sejarahnya
lagi yang bertolak pangkal dari bangsa dan negaranya, dan berujung pada politik
masa depan (Gazalba 1981; 184).
Historiografi Indonesia
tidak menjadi media pencerahan, kecuali sebagai antithesa dari kolonialisme
yang melekat pada historiografi masa sebelumnya. Sehingga tidak mengherankan,
historiografi yang diproduksi hanya melihat “hitam-putih” untuk menghasilkan
mereka yang benar di satu sisi, dan mereka yang salah disisi lain. Selanjutnya
“mengkerdilkan” peran pihak yang diposisikan sebagai musuh dan selalu jadi pecundang
dengan “menggemukkan” peran pihak pemenang sebagai pahlawannya. Tidak hanya
sampai disini, pelukisan masa lalu ditandai oleh pengingkaran elemen tertentu
dalam sejarah Indonesia, atau menjadikan kelompok tertentu sebagai pesakitan
sejarah yang menjadi tempat dimana segala kesalahan dan kegagalan ditimpakan.
Sejarah benar-benar telah menjadi sebuah ideologi praktis, historiografi bukan
lagi sebagai representasi dari realitas masa lalu, melainkan lebih menyerupai
topeng, yang menutupi dan memberi citra yang berubah-ubah untuk melegitimasi
kekuasaan (Purwanto 2008; xxiii, xxiv, xxvii). Dengan kata lain, kerja
historiografis di Indonesia selama ini cenderung menghasilkan mitos-mitos baru,
baik dalam arti membuat interpretasi baru atas mitos lama yang sudah ada maupun
memproduksi mitos-mitos baru, daripada menghadirkan kenyataan dari masa lalu
(Purwanto 2008; xxi). Jenis historiografi ini, dilabelkan oleh Bambang Purwanto
sebagai “historiografi kambing hitam dan historiografi oknum” (Purwanto 2005;
11-12, 2008; xxiv).
Prof Dr Bambang
Purwanto dalam kata pengantar bukunya GAGALNYA HISTORIOGRAFI INDONESIASENTRIS.
mengatakan :
‘Apakah ciri
historiografi Indonesia saat ini? Kemana arah historiografi Indonesia akan
berkembang? Dua pertanyaan sederhana itu ternyata tidak mudah untuk dijawab.
Bagi sebagian orang, disorientasi mungkin merupakan kata yang paling tepat
untuk dilabelkan pada historiagrafi Indonesia saat ini. Indonesiasentrisme yang
selama ini dianggap sebagai identitas historiografi Indonesia ternyata tidak
lebih dari sebuah label tanpa makna yang jelas, kecuali sebagai antitesa dari
kolonialsentrisme yang melekat pada historiografi yang ada sebelumnya.
Dekolonisasi yang menjadi prinsip dasar dari Indonesiasentrisme yang merupakan
cara pandang orang Indonesia tentang masa lalunya sendiri, seolah-olah telah
membangun wacana sekaligus perspektif yang menjadikan historiografi sekedar
sebagai alat penghujat dan menggunakan masa lalu sebagai tameng pembenaran’.
Tulis Purwanto
selanjutnya:
”Tidak banyak yang
menyadari bahwa prinsip dekolonisasi itu telah mengakibatkan sebagian besar
pemahaman tentang sejarah Indonesia cenderung anakronis. Mereka menafikan
banyak realitas yang dikatagorikan sebagai bagian dari kultur kolonial, dan
menganggap hal itu hanya sebagai bagian dari sejarah Belanda atau sejarah para
penjajah yang tidak ada hubungannya dengan sejarah Indonesia. Padahal sebagai
sebuah proses, realitas-realitas itu sebenarnya merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sejarah Indonesia’.
Kata Purwanto selanjutnya
dalam kata pengantar bukunya:
‘Sebaliknya tradisi itu
menganggap realitas-realitas lain sebagai realitas Indonesia hanya karena
sebagai masa lalu realitas itu terjadi di Indonesia sebagai sebuah unit
geografis. Padahal secara konseptual, realitas itu tidak dapat dikatagorikan
sebagai masa lalu Indonesia. Selain itu, prinsip dekolonisasi yang sebenarnya
hanya tepat digunakan untuk merekonstruksi masa lalu yang berkaitan dengan
periode dominasi Barat di Indonesia ternyata yang digunakan untuk merekonstruksi
masa lalu di luar periode itu, baik periode prakolonial maupun masa
pascakolonial. Cara pandang itu telah mengakibatkan perkembangnya historiografi
Indonesia yang menjauh dari tradisi sejarah kritis, dan sebaliknya menghadirkan
historiografi parsial yang penuh dengan muatan politis-ideologis yang tidak
mengakui keragaman pandangan dalam konstruksi dan pemaknaan terhadap masa
lalu’.
‘Dari kenyataan itu
tentu saja timbul pertanyaan, apakah tradisi historiografi Indonesiasentris
telah gagal merekonstruksi masa lalu Indonesia? Seperti dua pertanyaan di atas,
pertanyaan ini juga tidak mudah untuk dijawab. Mengatakan Indonesiasentrisme
gagal secara keseluruhan tentu saja berlebihan, karena sampai tingkat tertentu
historiografi ini telah berhasil menghadirkan unsur keindoneisaan baik sebagai
aktor masa lalu mapun perspektif dalam konstsruksi dan makna yang dibangun.
Sementara itu berbeda dengan perkiraan banyak orang, buku Sejarah Nasional
Indonesia yang banyak dikritik itu pun sebenarnya mampu menghadirkan secara
konseptual prinsip keindonesiaan yang dilandasi oleh kaedah keilmuan.
Periodisasi dan kerangka berfikir teoritik konseptual yang dirumuskan secara
jelas oleh editor utama yang dimotori oleh Sartono Kartodirdjo, menunjukkan
kematangan intelektual daripada sekedar emosional, terlepas dari persoalan yang
ada, terutama pada jilid 6 dan keberadaan jilid 7 yang terkesan malu-malu’.
Historiografi
indonesiasentris yang nasionalis, lokal, dan sosial yang didukung pemerintah,
bertahan sampai tahun 1977, ketika pemimpin penulis buku sejarah nasional
Indonesia, Sartono Kartodirjo, menerbitkan untuk terakhir kalinya “buku babon”
tersebut dengan sambul berwarna biru. Historiografi indonesiasentris ketika itu
tetap bernuansa “hitam-putih” dengan model sejarah sosial yang menguat. Sejarah
nasional dilihat sebagai hasil pergulatan bersama elit dan rakyat, dengan
Soekarno sebagai pusatnya. Sikap hati-hati presiden pertama republik terhadap
geliat militer, melahirkan sebuah tatanan negara yang normal, yakni militer
dibawah wewenang politikus sipil, militer sebagai alat negara, dan militer
tidak terlibat dalam kancah politik. Keadaan ini pula menghasilkan
historiografi indonesiasentris yang non-militer, artinya eksistensi militer
diakui namun tidak mendominasi panggung sejarah Indonesia sebagai satu-satunya
faktor penentu arah bangsa.
Ketika Orde Baru
benar-benar berkuasa, yakni tahun 1980-an, historiografi indonesiasentris
mengalami revisi. Nuansa “hitam-putih” masih dipertahankan dan sejarah nasional
digantikan dengan sejarah militer yang dipolitisir. Inilah perspektif sejarah
yang dikembangkan pada masa Orde Baru. Ciri utama historiografi nasional yang
dibangun selama Orde Baru adalah sentralisasi negara yang diejawantahkan oleh
militer. Sejarah nasional disamakan dengan sejarah militer dan produk sejarah
dikendalikan oleh negara dan militer. Negara terwakilkan oleh Suharto, dan
militer didelegasikan kepada Nugroho Notosusanto. Bersama penggagas dwi fungsi
ABRI, A.H. Nasution, mereka membangun sejarah nasional yang militeristik. Masa
lalu Indonesia direduksi selayaknya norma militer yang “satu komando”, dan
sejarah nasional berubah menjadi (ber)seragam-tunggal. Sehubungan dengan itu,
Katherine E. Mc Gregor menyatakan bahwa bangunan historiografi yang
menyeragamkan cara orang Indonesia memaknai dan merekonstruksi masa lalunya
merupakan buah dari keberhasilan militer menempatkan ideologinya sebagai pusat
berpikir historis. Militer sebagai sebuah institusi dan ideologinya telah
berhasil membangun citra baik untuk melegitimasi dirinya sendiri maupun
kekuatan yang didukungnya melalui pemaknaan tunggal dan naratif tunggal pada
konstruksi masa lalu Indonesiasentris (Mc Gregor 2008; xxiii).
Setelah pakar sejarah
militer-politis Orde Baru meninggal dunia secara tiba-tiba akibat pendarahan
otak di bulan Juni 1985, keberlanjutan sejarah nasional tidak mengalami
perubahan yang berarti. Perspektif sejarah Orde Baru yang seragam-tunggal tetap
bertahan sampai akhir abad 20, keadaan itu disebabkan: bukan karena sejarawan
Indonesia tidak produktif menghadirkan tulisan yang menantang dominasi militer
dalam sejarah atau melawan versi sejarah Orde Baru, akan tetapi kekuatan
represif militer diberbagai bidang yang membuat historiografi di Indonesia
tetap dalam narasi besar yang telah digariskan dalam “buku babon” enam jilid
karya Nugroho Notosusanto (editor), terutama jilid V-VI.
Dimanipulasinya oleh
penguasa Orba, — disulapnya suatu fiksi menjadi fakta, menjadikannya suatu
fakta sejarah, yang dianggap pula sebagai kebenaran umum sejarah, —- bukankah
ini manipulasi fakta sejarah yang perlu dikoreksi?
Betapapun, menegakkan
kebenaran dalam sejarah bangsa kita adalah urusan kita semua. Usaha
Rekonsiliasi Nasional atas dasar Kebenaran dan Keadilan tak akan bisa dicapai,
bilamana fakta-fakta sejarah yang telah dimanipulasi oleh rezim Orba tidak
dikoreksi. Selama itu belum dikoreksi, tak terhindarkan hal itu akan selalu
merupakan api dalam sekam.
Itulah pula sebabnya
mengapa penulisan sejarah bangsa seyogianya dilakukan oleh seluruh masyarakat.
Tentu para pakar dan sejarawan punya peranan penting dan terkemuka. Namun,
tanpa kepedulian dan keikutsertaan masyarakat, media, lapisan cendekiawan yang
luas, tujuan untuk bisa belajar dari sejarah bangsa kita, sulit untuk tercapai.
Catatan renungan :
KALAU dalam sebuah uraian sejarah ada kisah tentang betapa musuh bebuyutan tampil sebagai pembela di saat yang dibutuhkan, maka orang pun bisa berkata bahwa sebuah “ironi sejarah” telah terjadi.
KALAU dalam sebuah uraian sejarah ada kisah tentang betapa musuh bebuyutan tampil sebagai pembela di saat yang dibutuhkan, maka orang pun bisa berkata bahwa sebuah “ironi sejarah” telah terjadi.
KATA ironi dipakai
ketika keharusan logika mengalami masalah dalam sistem wacana yang ingin
menyalin realitas seutuh mungkin. Bukankah lebih masuk akal kalau musuh
mengambil keuntungan, bukannya malah menolong? Tetapi apakah istilah yang bisa
dipakai kalau terjadi pertentangan antara gambaran yang dibuat tentang masa
lalu dan realitas yang sesungguhnya? Pemalsuan sejarah? Pasti bukan, sebab
gambaran atau image bukan kronikel, yang harus memberikan fakta yang “pasti”
tentang “apa, siapa, di mana, dan bila”. Image hanyalah gambaran mental tentang
situasi atau peristiwa masa lalu. Dan, apa pula istilahnya kalau image tentang
peristiwa atau situasi di masa lalu itu dijadikan pula sebagai landasan
legitimasi dari ideologi kekuasaan? Mitologisasi?
Dari berbagai sumber
diantaranya :
– SEJARAWAN BAMBANG PURWANTO, Dan SEJARAH KITA. APA ITU SEJARAH? Oleh : Ibrahim Isa Alias Bramijn
– INDONESIASENTRIS DAN PERSPEKTIF SEJARAH ORDE BARU : Perbedaan dan Contohnya, dalam suciptoardi.wordpress.com
– Prof Dr Bambang Purwanto, Bangkitkan Minat Sejarah Hubungan Indonesia-Belanda oleh Renne Kaliwarang
– RESENSI BUKU “Membaca Ulang Sejarah Jawa” oleh Eddy Daryono
– SEJARAWAN BAMBANG PURWANTO, Dan SEJARAH KITA. APA ITU SEJARAH? Oleh : Ibrahim Isa Alias Bramijn
– INDONESIASENTRIS DAN PERSPEKTIF SEJARAH ORDE BARU : Perbedaan dan Contohnya, dalam suciptoardi.wordpress.com
– Prof Dr Bambang Purwanto, Bangkitkan Minat Sejarah Hubungan Indonesia-Belanda oleh Renne Kaliwarang
– RESENSI BUKU “Membaca Ulang Sejarah Jawa” oleh Eddy Daryono
Post a Comment