0
RENSENSI BUKU GREATNESS OF AL ANDALUS
Posted by Unknown
on
6:36 PM
in
sejarah kami
RESENSI BUKU
Sandyakala Andalusia
Kekuasaan Islam di
Kordoba pernah mencapi puncak keemasan di bidang ilmu pengetahuan dan budaya.
DI KORDOBA, 1198, Ibnu
Rusyd, ulama-cum-dokter yang di Barat dikenal sebagai Averous dan
dianggap tokoh filsuf Rasionalisme, menghembuskan nafas penghabisan dalam
kondisi mengenaskan. Banyak karyanya dibakar. Ajaran filsafatnya menjadi barang
haram. Ramalannya mulai menuju kebenaran bahwa masa depan negaranya takkan
ramah untuk orang-orang yang tercerahkan seperti dirinya.
Di tempat yang sama dan
waktu hampir bersamaan, dokter, juru tulis, dan filsuf Yahudi Musa Ibn Maymun
atau Maimonides harus angkat kaki dari kampung halamannya. Kordoba, yang
dikuasai kerajaan-kerajaan kecil dan saling berperang, mulai menutup pintu bagi
kaum Yahudi. Bahkan ketika kaum Muwahidun berkuasa, mereka membantai ribuan
orang Yahudi. Musa Ibn Maymun pindah ke Mesir. Di sana dia mendapatkan tempat
terhormat dengan menjadi penasihat Salahuddin al-Ayubi, kelak dikenal sebagai
penakluk Yerusalem, hingga meninggal dunia pada 1204.
Seiring kematian dua
filsuf besar itu, Kordoba, tempat yang pernah menelurkan peradaban tinggi yang
dikenal dengan Peradaban Andalusia, perlahan masuk liang lahat. Padahal, dua
abad sebelumnya, tepatnya pada abad ke-9, Kordoba merupakan prototipe
modernitas. Dari jendela istananya yang megah, Hisyam dan putra sekaligus
penggantinya, al-Hakam I, menyaksikan kemajuan dan kemakmuran masyarakatnya.
Yang mengagumkan dari
sejarah Andalusia, tiga agama besar: Islam, Kristen, dan Yahudi hidup
berdampingan dan penuh toleransi –atau dalam bahasa Spanyol disebut convivencia.
Kebijakan ini lahir dari tangan Abdurahman I, pemimpin kharismatik yang fasih
bicara ihwal agama dan budaya di mimbar-mimbar masjid serta kerap menganggit
puisi dan membacakannya di depan publik. Selain menerbitkan harmoni sosial,
kebijakan ini memberi kesempatan kepada kaum Yahudi dan Kristen untuk menjadi
pejabat negara. Penerusnya, Abdurahman III, menjaganya dengan mengangkat Hasdai
Ibn Shaprut, seorang Yahudi, sebagai penasihatnya dan Racemundo, seorang uskup
Katolik Elvira, sebagai dutabesar Kordoba untuk Konstantinopel.
Pengadaptasian
teknologi pembuatan kertas, yang didapatkan dari peradaban Tiongkok, mendorong
perkembangan ilmu pengetahuan. Perpustakaan-perpustakaan dipenuhi buku-buku
berharga. Dari segi penyebaran ilmu pengetahuan, Kordoba hampir menyamai Baitul
Hikmah di Baghdad, think thankpemerintahan Abbasiyah di Timur
Tengah, yang sepanjang sejarah melahirkan segudang ilmuwan besar. Di bawah
bimbingan para ahli Muslim di Kordoba Khalifah al-Hakam II al-Mustansir,
Gerbert dari Aurillac menerbitkan buku teks empat halamannya yang revolusioner
tentang matematika baru. Buku ini mencampakkan cara berhitung Romawi yang
rumit, seperti XXIV+XLIII=LXVII, dan menggantikannya dengan sembilan angka
Hindu dan angka nol Arab.
Peradaban Andalusia,
yang kosmopolitan, menghargai perbedaan, dan mendorong ilmu pengetahuan,
menjulang tinggi. Meski diselingi satu-dua pertempuran kecil dan upaya untuk
memperluas kekuasaan, kondisi masyarakatnya cukup stabil. Andalusia mencapai
puncak keemasan pada abad ke-10 dan 11. Pada masanya ia kerap menjadi rujukan
negara-negara lain.
Namun, harmoni mulai
retak saat gelombang radikalisme agama mulai menggumpal, sementara kekuatan
Islam moderat perlahan tapi pasti kian melemah. Ketika paham-paham keagamaan
yang kaku merembes ke Andalusia melalui Afrika Utara dan penguasa lebih
mendengarkan saran ulama-ulama konservatif, hampir tak ada kata ampun atas
segala sesuatu yang dianggap penyimpangan. Kristenisasi dilarang dan hukuman
mati ditimpakan pada setiap Muslim yang menjadi Kristen. Sebaliknya, tak ada
hukuman sama sekali bila orang Kristen memeluk Islam.
Orang-orang Kristen
fanatik tak rida melihat saudara-saudara seiman beralih ke Islam. Jumlah mereka
kian berkurang, bahkan tak lagi menjadi mayoritas. Sebagai reaksi putus asa,
sekelompok kecil Kristen Andalusia menentang rezim Muslim pada pertengahan abad
ke-9. Para pendeta Kristen dan orang awam juga mulai secara terbuka menghina
Islam.
Satu-dua peperangan
antara Islam dan Kristen pun bergolak. Sementara kalangan Yahudi, yang sejak
mula adalah minoritas, terjepit dalam peperangan ini, bahkan tak bisa berbuat
banyak ketika menjadi sasaran kebencian Islam dan Kristen. Sejak itu, ketiga
agama besar itu mulai mencopoti batu bata bangunan toleransi yang menjadi dasar
peradaban Andalusia.
Ada satu faktor lagi
yang ikut meruntuhkan Andalusia: lembeknya kelas menengah. Warga Andalusia
–Kristen, Muslim, dan Yahudi– yang mendapatkan kemudahan dan kemewahan ekonomi
lebih suka memikirkan bisnis dan keselamatan diri ketimbang menengahi berbagai
kecamuk. Ketika keadaan makin gawat, kelas menengah ini berbondong-bondong
pindah ke daerah lain untuk memulai lagi usaha mereka.
Tepat 38 tahun setelah
kematian Ibnu Rusyd dan 32 tahun setelah kematian Musa Ibn Maymun, kekuasaan
Islam di Kordoba kian berkurang dan akan berakhir dengan masuknya sang pemenang
Ferdinand III dari Kastilia pada 1236. Bangunan-bangunan megah hanya tersisa
beberapa, perpustakaan dan buku menjadi barang langka kembali, dan toleransi
ketiga agama besarnya menjelma hanya menjadi catatan sejarah
Post a Comment